Minggu, 10 Februari 2019

NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi

NKRI yang bersyariah atau ruang publik yang manusiawi?
Memilih dua hal di atas memang membingungkan, sama-sama membicarakan tentang etika yang senantiasa ikut mewarnai dalam pergaulan kita dengan sesama makhluk Tuhan lebih tepatnya manusia. Melihat sekilas pilihan "NKRI yang Bersyariah" terkesan bersifat religi  dan condong ke satu agama tertentu karena adanya kata syariah, sementara pilihan "Ruang Publik yang Manusiawi"  terlihat  jelas karakter sosialnya. Hidup memang dihadapkan dengan dua pilihan yang kita harus menetapkan sendiri pilihan itu. Tanpa ada paksaan dan memilih sesuai hati dan akal, itulah yang tepat. 

Apa yang menyebabkan bangsa kita disebut bangsa yang majemuk/multikultur/cultural diversity? Kita hidup di negara yang kaya SDA (sumber daya alam), tersebar di seluruh wilayah dan setiap daerah memiliki SDA yang berbeda-beda, gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke dengan bermacam suku, bahasa, adat,  budaya, dan agama,  dsb. Karena latar belakang itulah, para pendiri negara menetapkan  semboyan yang relevan dengan keadaan Indonesia ini dan tentu saja tanpa meninggalkan sejarah terbentuknya semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh para pendiri bangsa yang terinspirasi  dari buku Sutasoma oleh Mpu Tantular. Kita sebagai bangsa yang majemuk mari kembali menilik sejarah bangsa pada pembentukan dasar negara,  mengapa kiranya ada sebagian kalimat yang dihapus (sila ke Satu dalam Piagam Jakarta "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa ") adalah implementasi dari kalimat pada pita yang dicengkeram Sang Garuda lebih tepatnya Garuda Pancasila. Mengingat kembali pemberontakan DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam juga sebagai ekspresi atas ketidakpuasan terhadap penghapusan tujuh kata tersebut,  jelas dianggap bertentangan dengan semboyan bangsa. Bukankah yang terpenting adalah pengamalan ajaran agama dengan sungguh-sungguh? Tak perlu mendebatkan perihal agama karena untukmu agamamu dan untukkulah, agamaku. 

Indonesia yang mayoritas warganya Islam maka organisasi,  perserikatan,  majlis atau partai,  dll. yang bernuansa Islamlah yang lazim terlihat. Bagaimana tidak?  Bila kita menganalogikan dengan sebuah titik maka titik yang banyaklah yang berhasil membentuk sebuah garis atau bidang sehingga jelas terlihat daripada titik yang hanya sedikit.  
Kembali pada bahasan paragraf satu (read: pemberontakan... ) yang namanya dasar adalah landasan atau pondasi.  Jadi tak heran bila ada sesuatu hal yang sekiranya bertentangan dengan dasar maka menyebabkan pro dan kontra bahkan penumpasan terhadap pihak yang melawan, dalam hal ini saya ambil contoh  sejarah pemberontakan DI/TII dianggap menentang kebijakan pemerintah.

Dari zaman ke zaman ruang publik turut mengisi roda waktu dalam kehidupan yang komplek namun fana ini. Bahkan lebih menyebabkan suatu hal yang sifatnya sensitif sekali bila mengena atau menyinggung pada satu golongan tertentu, karena di saat inilah kita berhadapan dengan orang lain yang beragam persepsi dan pola fikirnya, bahkan ruang publik maya bisa disaksikan dan ditanggapi dalam tenggang waktu hitungan detik oleh masyarakat di seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya diperlukan kebijakan dalam berfikir sebelum turut serta menjadi bagian dari elemen ruang publik itu sendiri. Berbicara dan menanggapi sebuah esai mengenai sebuah topik hangat, menurut pribadi saya NKRI bersyariah atau ruang publik yang manusiawi, saya lebih condong pada NKRI bersyariah. Syariah berasal dari Bahasa Arab yang bisa pula diartikan taat Allah, rasul dan para pemimpin. Bukan masalah kita menggunakannya, semua kalangan sudah akrab dengan istilah tersebut penerapan syariah juga tidak merugikan siapapun. Kiranya sama dengan penggunaan yang ngetren sekarang ini semisal GrabCar atau GrabBike, handphone,  gadget dan masih banyak kata serapan asing yang sering kita dengar. Lagipula penggunaan kata syariah (PUEBI: syariat) sah-sah saja, bukankah itu sebagai wujud apresiasi atas kaum mayoritas? Sama ketika diadakan suatu pemilihan maka yang banyaklah yang akan terpilih dan ditetapkan. Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim. maka wajarlah bila yang mendominasi adalah muslim, dalam artian tanpa mendiskriminasi kaum minoritas, karena sekali lagi kita punya falsafah Pancasila lebih tepatnya sila kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".  Termasuk dalam hal pemakaian bahasa, dalam kontek Bahasa Arab pun menurut pikir saya tiada masalah, sama tak ada masalahnya dalam penggunaan bahasa serapan. Kalau disuruh memilih ruang publik yang manusiawi cakupannya lebih sempit dan terkesan umum. Kita memang manusia yang  dilengkapi dengan akal, sudah barang tentu manusia pada umumnya bersikap manusiawi. Masih banyak  orang baik di muka bumi ini, karena masih banyak pula orang tua, pendidik, tokoh agama dan lain sebagainya yang mendidik dan mengarahkan pada kebaikan.  Kebebasan berpendapat di ruang publik pun juga diatur dalam UU ITE supaya tidak melanggar kemanusiaan itu sendiri. Kalaupun  mungkin sudah banyak  manusia yang tidak manusiawi lagi, maka bersiaplah dengan kehancuran bumi ini, karena aturan tidak diindahkan lagi, perselisihan, dan percekcokan atas dasar memperjuangkan kepentingan pribadi/golongan saja bahkan perang terjadi dimana-mana sehingga merusak tatanan yang ada. Lantas mengapa tidak ruang publik yang Pancasilais saja, mengapa mesti ruang publik yang manusiawi. Bukankah itu lebih sarat makna dan mencakup semua nilai (agama, sosial, ekonomi, dll) serta sesuai semboyan adiluhung bangsa Indonesia??? Perbedaan adalah kenyataan, dimanapun tempat selalu kita menemukan perbedaan, maka tidak mungkin bagi kita untuk bersikap anti kemajemukan. Bersatu dan Jayalah Negeriku! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar