KEGIGIHAN
SEORANG KAKAK
1.
Seperti Biasa
“Titi, tidak boleh kemana-mana ya...apalagi ke sungai...” pesan
Dodo pada adiknya.
Seperti biasa
pagi-pagi sekali Dodo menyiapkan diri untuk bekerja. Sebagai seorang penjual es
nino pagi sekitar pukul 08.00 harus stand by di tempat. Tak pernah sebelumnya
dirinya berfikir akan menjadi penjual es. Sebagai kakak sulung dirinya merasa
bertanggung jawab membantu orang tuanya untuk bekerja. Apalagi sekarang Dodo
sudah lulus SMK.
“Ya... kak ”
jawab Titi menuruti pesan kakaknya.
Tanpa
disadari oleh sang kakak, Titi diam-diam membuntuti Dodo yang mengenakan kaos
oblong biru muda dari belakang. Sesampai di tempat grosir es nino, Titi
menyembunyikan dirinya dibalik rumah tetangga. Seperti biasa Dodo menyapa bos
dan rekan-rekannya. Di mata mereka Dodo adalah pemuda yang baik, sopan dan
bertanggung jawab tinggi.
“Wah Dodo,
makin semangat saja ni...” ucap Tono rekannya.
“ Iya Ton,
masa ga semangat, masih muda, banyak kebutuhan..” sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
“ Ah kau ini
kayak sudah berkeluarga saja, memangnya apa kebutuhanmu?? ” sambil mendongakkan
kepalanya Tono ingin tahu, “ paling juga merokok ”.
“Tidak, sebisa
mungkin aku menjauhi rokok“
“Itu lebih
baik untukmu Ton, jangan seperti aku yang sudah terlanjur, yuk Do, duluan ya“
Tono berlalu meninggalkan Dodo yang sedang antri mengambil es.
“ Iya Ton“ balas Dodo sambil menungging
senyumnya
“Dodo ambil
berapa???” tanya si bos.
“200 buah Pak“
“Hebat kau
Do, makin hari makin bertambah, kemarin sudah habis 150, dan sekarang bertambah
50. Mudah-mudahan habis semua Do... “
“Iya Pak
banyak kebutuhan..., Amin doanya”
Sementara
Titi masih sembunyi di balik dinding rumah, sesekali kepalanya menengok ke arah
kakaknya, Dodo yang sudah memenuhi gerobak es dorongnya dengan es lekas-lekas
berlalu setelah berpamitan. Alunan es nino yang menarik siapa saja yang
mendengar mulai terdengar merdu, maka tak heran bila banyak yang menoleh ke
arah Dodo di sepanjang jalanan. Entah karena tertarik dengan penjualnya yang
mempesona atau musiknya atau mungkin kedua-duanya. Beberapa langkah
meninggalkan area grosir, tiba-tiba...
“Bang...beli,
tapi tunggu ya...” teriak seorang anak kecil sambil berlari masuk ke dalam
rumah. Dodo paham maksud anak tersebut. Seketika anak itu keluar.
“Beli
3 Bang...” sambil memberikan uang ke arah Dodo.
“Kok
banyak buat siapa saja Dik?“ sambil merogoh es nino di dalam gerobak itu.
“Aku 2, ibuku
satu Bang”. Es nino memang enak apalagi yang rasa durian. Tak peduli tua atau
muda apalagi anak-anak semua pasti suka ditambah abang penjual seperti Dodo
yang selain ramah juga sopan kepada siapa saja. Anak itu berlari. Dari kejauhan
tampak seorang ibu yang tadi dibelikan es nino oleh anaknya, memegang es nino
itu dan siap untuk menikmati. Dodo tersenyum. Baru saja mau berlalu,
“
kak...tunggu “ suara yang sangat dikenal itu membuat Dodo seketika memalingkan
wjahnya ke belakang.
“ Titi,
kenapa kau buntuti kakak “ pertanyaan Dodo tiada dijawab oleh Titi, namun Dodo
paham akan gelagat adiknya yang pasti mau minta es nino.
“ Titi lain
kali jangan seperti ini lagi ya...” pinta Dodo sambil memberi sebuah es nino ke
adik bungsunya itu. Memang ini bukan kali pertama Titi membuntuti kakaknya.
Kalau tidak mengikuti ke area grosir terus diberi si bos es durian 2 atau 3
buah. Ya beginilah cara Titi untuk mendapatkan es nino itu.
“Titi
pulanglah, kau tidak sepatutnya mengikuti kakak terus”
Namun itu tak
membuat Titi bergeming, seakan masih ada yang diinginkan. Mengetahui hal itu, Dodo
mengambil es nino satu lagi dan dia beriakan ke adiknya.
“Kakak sudah
memberimu 2 sekarang Titi harus pulang, dan ingat jangan ke mana-mana ya?“
Dengan
langkah ragu Titi meninggalkan kakaknya, sesekali menoleh ke belakang, ke arah
kakaknya. Sepertinya Titi memang ingin mengikuti kakaknya itu berjualan es.
Namun apa daya pesan ditambah ekspresi galak kakaknya membuat Titi mengurungkan
niatnya untuk terus membuntuti Dodo.
Selama
perjalanan Dodo selalu mengenakan topi. Selain untuk menutupi kepalanya
melindungi dari paparan sinar matahari, topi itu juga digunakan untuk menutupi
wajahnya dari orang yang dikenalinya. Ada rasa malu juga bagi Dodo untuk
berjualan es. Namun apa daya keadaan memaksanya untuk tetap melakukan itu.
Apalagi kalau bukan karena rasa tanggung jawab yang tinggi ditambah sebab koneksi kerja yang tidak ada
untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Kalaupun ada orang yang tahu kalau Dodo berjualan es pasti itu adalah tetangga dekatnya. Terhadap tetangganya pun Dodo suka membantu, seperti waktu dahulu usai
lulus sekolah, Dodo dimintai bantuan untuk membuat septictank. Dengan senang
hati Dodo bersedia membantu.
Malam itu Dodo mendekati Titi yang sedang mendengarkan radio bersama
dengan Tari, Tari memang suka sekali dengan golden memories song. Titi pun
dengan lagak sok bisanya mengikuti irama musik itu.
“Titi, besok lagi kamu
jangan mengikuti kakak ya...?“
“Tapi Titi pingin es
nino” sambil merengek
“Kalau kamu mau besok
kakak bawa pulang es nino kesukaanmu itu. Tapi satu saja ya?“
“Dua, tiga kak Titi
suka sekali es nino. Apalagi yang rasa durian”. Sambil memegang tangan
kakaknya.
“Tapi itu dagangan Titi,
untung kakak nanti habis lho“
“Uhh...kakak pelit “
Titi mengatupkan kedua bibirnya.
Bukan maksud Dodo untuk
pelit ke adiknya, melainkan memang untung dari es yang hanya beberapa rupiah.
Tidak hanya itu saja tentu ada alasan lain yang lebih berarti, yaitu Titi
adalah anak yang mudah pilek bila terlalu banyak es. Justru nanti Dodo yang kena
omelan dari ibunya.
“Titi benar kata kakak,
kamu itu tidak boleh di jalanan membuntuti kakak apalagi meminta-minta es
segala...” Tari ikut nimbrung. Tari adalah kakak kedua titi.
Titi yang tidak peduli
Tari berkata-kata kembali bermain orang-orangan dari kertas. Sesekali rambutnya
yang merah karena sering kepanasan dia tolehkan ke kanan dan ke kiri.
“Ah kakak itu
pelit-pelit, besok aku mau beli saja pakai uang yang diberi oleh ibu”, Titi
bernada ngambek dengan lagak yang tidak mau dikasihani itu tetap bermain
orang-orangan. Kedua kakaknya tersenyum melihat tingkahnya yang cepat sekali
membela diri dengan rasa gengsinya yang tinggi.
“Ti...ti... memang uang
sakumu berapa? Memangnya cukup untuk beli 2 es nino?” goda Tari.
“Kenapa tidak, kalaupun
kurang pasti kak Dodo memberiku lagi”
“Kalau itu sama saja
kamu menerima pemberian, katanya mau beli sendiri saja?” goda Tari kedua
kalinya.
“Tapi khan aku beli”
Titi membela diri
“Iya, hanya cukup untuk
1 es, maumu khan 2” Tari mencibir.
“Ya ga pa pa, aku khan
anak kecil”. Titi balas mencibir.
“Ah kau ini Ti,
dibilangi masih juga membantah, kau memang pintar ngeles”.
“Sudahlah Tari, kau
sama saja anak kecil kau ladeni”. Bela Dodo.
“Tu khan...”. Celetuk
Titi.
“Kakak sich suka
membela Titi, ya maklum adik paling bontot”, Tari mencubit pipi Titi, walaupun
sedikit jengkel Tari juga gemas melihat Titi yang mungil, berambut merah itu
meringkuk asyik memainkan orang-orangannya yang baru saja dibelinya kemarin di
warung depan jalan raya.
2.
Perjumpaan dengan Pak Guru
Mentari sudah mulai
condong ke barat. Menunjukkan waktu sudah beranjak sore. Sementara
Dodo masih mendorong es nino dagangannya.
“Mas jangan keras-keras
alunan musiknya, ada yang sedang belajar...” Tiba-tiba saja matanya tertuju
pada seorang lelaki usia lima puluhan. Spontan topi yang dia kenakan diturunkan
dengan maksud tak dilihat oleh lelaki itu yang tak lain adalah eks-gurunya
sewaktu SMK. Rupanya Dodo terlambat, usahanya tadi sia-sia. Pak Dibyo sudah
menaruh curiga setelah menegur tadi. Pandangan pak Dibyo yang tadi datar
seketika menatap ke arah Dodo menjadi berubah. Pak Dibyo menyadari bahwa Dodo
adalah muridnya setahun kemarin. Wajar bila pak Dibyo teringat akan Dodo,
karena Dodo selalu juara di SMK. Pak Dibyo mengacungkan jempol ke arah Dodo, Dodo pun menundukkan kepalanya
tanda penghormatan.
Ada rasa antara senang
dan seperti tersayat-sayat di hati Dodo. Murid seperti dirinya yang semestinya
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi atau kerja di kantoran walaupun hanya
sebagai juru tulis sekalipun, saat ini hanya mampu untuk berjualan es nino di
sepanjang jalanan itupun dengan berjalan kaki. Biarlah nasib sedang mengijinkan
saat ini Dodo untuk berjualan es nino. Dodo berlalu dengan rasa malu yang baru
saja muncul setelah perjumpaannya dengan gurunya.
“Kakak sedang
menghitung uang, horeee nanti aku dikasih uang jajan.. laris ya kak?”
“Ya, Alhamdulillah,
uang ini bukan milik kakak sepenuhnya tapi juga ada hak ibu, Titi mengerti
kha?”
“Kan kakak yang mencari
uang, ayah dan ibu juga sudah bekerja, kenapa mesti dikasihkan ke ibu Kak?” Ada
rasa ingin tahu Titi yang membuat Dodo harus menerangkan secara gamblang, agar
Titi mengerti.
“Titi, ayah dan ibu
harus menanggung kak Tari, kak Yaya, kak Piti dan kamu, jadi kakak sebagai
kakak tertua sudah sepatutnya membantu ayah dan ibu kan, mengerti kau Titi?”,
ekspresi Dodo yang serius membuat Titi takut untuk bertanya kedua kali.
“O...begitu, kasihan
kakak, besok boleh ga aku ikut berjualan es sama kakak?” pinta Titi menghiba.
“Jangan, belum saatnya
kamu untuk bekerja, kamu itu masih terlalu kecil, paham?’
“Tidak...” Titi
menggeleng.
“Besok kalau kamu sudah
besar, sebesar bagong...silahkan kamu bekerja sesuai cita-citamu,”
Belum sampai selesai
berucap Titi sudah tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya dia teringat dengan
acara di TVRI ‘Ria Jenaka’ yang
bercerita dengan gaya humornya. Tokohnya memang piawai membuat para penonton
setianya tertawa, karena ceritanya yang lucu memerankan punakawan.
“Kenapa tertawa Titi?”
“Kakak sih...menyebut
Titi sebesar bagong, memangnya bisa Kak?”
“Tentu...kalau Titi
tidak suka jajan dan makan nasi uang banyak”.
“He..em aku mau sebesar
bagong biar bisa bekerja dan banyak uang. Nanti kakak kubelikan es nino ya, mau
khan?”
Dodo mengangguk,
ekspresi mengiyakan maksud Titi supaya adik bontotnya
itu merasa lega.
Dodo
merasa terharu, terlihat dari sinar matanya yang memandang jauh ke depan dan
sedikit berkaca-kaca. Ternyata adiknya itu mampu memahami kata-katanya ditambah
rasa pengertian yang teramat dalam untuk anak seusia Titi yang sama sekali
belum merasakan bangku sekolah.
“”Sekarang
Titi lekas berlatih calistung ya sama kak Piti?” pinta Dodo kepada adiknya. “OK
kak tapi jangan lupa besok Titi dikasih es durian, o…iya Titi khan beli, gak
mau minta”. Titipun beranjak pergi ke ruang tengah menuju ke tempat Piti yang
sedari tadi berada di ruang itu. Sementara Dodo melanjutkan menghitung uang
hasil berdagang sehari tadi.
“Lumayan
uang ini sebagian akan kukumpulkan untuk tabunganku”, tiba-tiba saja terbesit
wajah pak Dibyo yang tadi dingin melihatnya sebelum mengetahui bahwa penjual es
nino keliling itu adalah eks-muridnya. Dan acungan jempol itu apa artinya,
bagus atau hanya sekedar membesarkan
hati Dodo supaya tidak malu. Semenjak pertemuan dengan beliau jauh dalam hatinya ada rasa malu dan beban di pundaknya
yang semakin berat. Ibu Dodo yang melihat Dodo dengan keadaan seperti itu
langsung peka dan bertanya,
“Ada
apa Do, ibu melihatmu tidak sepeti biasanya, setoranmu kurang atau hilang?”
ibunya mencoba menerka setelah melihat uang yang tersusun rapi di genggaman
Dodo. “Tidak Bu”, jawab Dodo ragu.
“Ibu
tahu kok, pasti ada yang difikirkan”,
Sebenarnya
Dodo ingin bercerita namun ini bukan waktu yang tepat.’ “benar, Dodo tidak mau
cerita, setiap masalah itu ada jalan keluar, tinggal kamu mau membiarkan
masalahmu itu larut dengan dirimu sendiri atau engkau bagi dengan ibumu ini”.
Ibu Dodo yang bijaksana itu kembali menata barang dagangan baju-baju yang tadi
sore diambil dari tetangga untuk dijual esok hari. Begitulah kebiasaan ibu Dodo
bila ada pesanan baju-baju, kalau tidak langsung dibeli dari grosir, pasti
mengambil dari tetangga yang sama-sama penjual pakaian.
“O..ya
Bu, ini sedikit dari Dodo, untuk membantu belanja atau apalah…” Ibu Dodo
menerima, namun jauh dalam hatinya tidak ingin menggunakan uang hasil jerih
payah anaknya untuk apa-apa, melainkan akan disimpannya sendiri untuk kepeluan
Dodo di hari mendatang. Kecuali kalau memang terpaksa paling digunakan untuk
membayar uang dagangan yang kemudian untuk dijual kembali. Kadang-kadang juga
digunakan untuk membeli baju Dodo. Dodo memang pemuda yang sederhana, tidak
seperti kebanyakan pemuda lainnya yang menginginkan baju, celana bermerek yang
dibeli di toko, mall, atau supermakat. Bagi Dodo asal itu baju bisa dipakai dan
pilihan ibunya yang dibeli di pasar bukan menjadi masalah.
“Anak
ibu memang pinter tahu kebutuhan ibu, memangnya Dodo sudah menyisihkan?”
“Sudah
Bu…separuh, tidak apa-apa khan Bu?”
“Ya
ga papa to Do, itu kan uangmu sendiri, hasil bekerjamu sekalian, ibu saja
bersyukur kamu ingat sama ibu”. Dan tiba-tiba terdengar teriakan Piti dari
ruang tengah.
“Bukan
begitu!!!” Pity memarahi Piti yang sulit memahami materi yang diajarkan.
Kemudian disusul tangisan Titi. Dodo dan ibunya yang tengah asyik berbincang
menjadi berjalan ke ruang tengah.
“Semestinya
kau sebagai kakak perempuan tidak begitu Pity, sabar kenapa?” ucap ibu Titi.
“Memang
Titi itu jenius, langsung bisa…sekolah saja belum Pit…Pit...” Dodo ikut
berbicara.
“Habis
Titi itu sulit...diajari ga bisa-bisa”, Piti membela diri. Tiba-tiba Tari dan
Yaya muncul, pulang dari membeli alat tulis di toko depan lorong.
“Titi
kalau diajari mendengarkan, jangan bengong..”, Tari menyarankan.
“Betul Ti, jangan asyik ngomong sendiri,
kemarin sama aku juga begitu”, Yaya meyakinkan.
“Sudah-sudah,
kalian sama saja tidak seperti Dodo yang sabar sama adiknya, ayuk Ti, tidu sama
ibu”, ibu mereka marah sambil berbicara pelan, entah apa yang dibicarakan
karena suaranya yang pelan seperti orang sedang mengomel. Dodo tersenyum sambil
geleng-geleng kepala. Sementara Titi mengikuti ibunya dari belakang. Air mata
masih membasahi kedua pipinya. Dodo memegang kepala Titi sambil mengelusnya
sebelum berlalu melintasi dirinya. Mereka adalah keluarga besar hanya Dodo yang
laki-laki tentu ada juga ayahnya yang di depan sedang membenahi ban sepeda yang
kempes. Mungkin karena terlalu asyik tidak mendengar percekcokan mereka.
Sebelum sampai di pintu kamar, Titi berucap,
“Besok
aku tidak mau belaja sama kak Piti aku mau sama kak Dodo saja”,
“Boleh,
asal Titi sungguh-sungguh kakak mau mengajari Titi, belajar itu butuh proses
dan kesabaran,” belum selesai mengucapkan Titi langsung menyela,
“Proses
itu apa kak?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu, sesekali sambil mengusap
sisa-sisa air matanya yang tadi.
“proses
itu tahap atau jalannya suatu kegiatan, kalau kamu sedang belajar itu berarti
proses menjadi pandai, mengerti?” lanjut Dodo menjawab pertanyaan adiknya. Titi
mengangguk, kemudian melangkah masuk ke tempat tidur menyusul ibunya.
Malam
pun berjalan seperti biasanya hanya suara ayah yang membenahi ban kempes di
depan, setelah itu ayah masuk mencuci tangannya yang hitam karena terkena oli
dan ban kotor. Malam semakin larut. Suara jangkrik di dapur ikut meramaikan
suasana. Satu per satu dari mereka beranjak ke peraduannya setelah menunaikan
sholat isya.
Bulan
Juli sudah menghampiri. Menjelang ajaran baru Titi yang hendak memasuki sekolah
menyiapkan tas, buku, diskrip, dan piranti lainnya keperluan sekolah. Upanya
ibu Titi sudah membelikan semua yang akan dibutuhkan Titi. Jelang tahun ajaran
baru barang dagangan ibunya cukup laris, banyak yang memesan seragam sekolah.
Oleh karenanya semua barang Titi baru.
“Titi kemari nak...”,
ibu Titi memanggilnya ada yang hendak dibicarakan. Titi berlari menuju ibunya.
“Ada apa Bu?”, sambil
mengenakan tas baru yang dibelikan oleh
ibunya sejak tadi siang di pasar Gede. Dikenakan, dilepas, dikenakan kembali.
Begitulah sikap anak kecil pada umumnya bila menjumpai benda baru, pasti terasa
sangat menarik sekali.
“Titi besok kalau
berangkat misalnya Titi diantar sama kak Dodo mau kan?”, sambil mengamati
ekspresi Titi yang sedang menatapnya, “ayah dan ibu berangkat pagi-pagi ke
pasar, ibu harus jualan nak”.
“Asyik...Titi mau Bu
diantar kak Dodo, berarti kak Dodo tidak jualan Bu?”.
“Kalau itu ibu tidak
tahu, mungkin saja nanti setelah mengantar Titi baru berjualan”.
“Iya Bu tidak apa-apa,
Titi mau”. “Betul ya Titi, besok kalau sudah sekolah, sekolah yang rajin
ya...?”
“OK ...Bu”, sambil
mengacungkan jempolnya.
“Sekarang Titi mandi,
waktu sudah sore, nanti kalau mandi kemalaman bisa menyebabkan encok”.
Mendengar kata encok
Titi langsung menirukan ayahnya yang terkadang mengeluh encok. Ibunya tersenyum
geli melihatnya sambil melangkah mengambilkan baju dan pakaian dalam Titi yang
nanti akan dikenakan.
3.
Titi Masuk Sekolah
Pagi itu sangat cerah
sekali, Titi sudah siap dengan hal ihwal sekolahnya. Ada rasa takut yang
menyergap di benaknya, namun Dodo telah membesarkan hati Titi sedemikian rupa.
Mereka pun berangkat bersama-sama. Titi diboncengkan oleh kakaknya. Sesampai di
sekolah Titi minta ditunggu oleh kakaknya. Permintaan Titi dituruti olah Dodo,
hari kedua, ketiga begitu seterusnya. Dodo berkorban tidak berdagang selama
beberapa hari. Hingga sampai suatu masa...
“Titi kakak tidak bisa
menungguimu terus, kakak harus berdagang”. Titi menggeleng.
“Tidak mau...” tangan
Titi memegangi baju Dodo yang hendak meninggalkannya sendiri pagi ini. Dodo
kukuh pada pendiriannya Titi pun merengek. Kesabaran Dodo sudah habis. Tas Titi
di kelas diambil olehnya, dan Titi pun diajak pulang. Sekolah hari ini tiada
bagi Titi.
Hari semakin siang,
ayah dan ibu Titi sudah pulang dari pasar. Sementara Titi yang tadi di rumah
sendirian masih dengan muka murung.
“Titi dagangan ibu hari
ini laris, ini kue kura-kura kesukaanmu”. Titi tidak bergeming sedikitpun.
“Engkau kenapa Titi?”,
sambil mendekati Titi, “Ada masalah apa anak ibu yang cantik ini, tadi di
sekolah gimana asyik to...”. Kue kura-kura yang dibawanya diberikan ke Titi,
Titi menangkap kue itu, terus dilahapnya sedemikian rupa hingga mulut Titi
terisi penuh dengan kue.
“Tidak, kak Dodo tidak
mau menunggui Titi, Titi disuruh pulang. Terus ditinggal di rumah sendirian.
Titi tidak boleh keluar rumah”. Sambil terus terisak dan mengunyah kue di
mulutnya. Kalau dilihat, lucu juga tingkah anak itu. Menangis sambil terisak-isak.
“Hmmm, Titi pasti tidak
mau ditinggal, habis Titi minta ditunggui terus, ya...wajar saja kalau kak Dodo
berlaku demikian. Titi kalau makan jangan sambil menangis, nanti tersedak lo”,
pesan ibunya dengan tatapan khawatir.
“Nanti kalau kak Dodo
pulang, ibu marahi. Titi tidak ditunggui”, sambil masih terus terisak.
“Ya..ya...yuk sekarang
ibu mau sholat dulu nanti kita makan bareng ayah dan kakak ya?”.
Sambil sejenak menunggu
Tari, Yaya dan Piti pulang sekolah, mereka akhirnya makan bersama-sama meski
seadanya dengan sayur lodeh dan kerupuk serta tempe goreng. Hanya Dodo yang
tidak ada di ruang itu, Dodo masih bergelut dengan es ninonya di luaran sana.
Malam itu gerimis,
bulan juli adalah masa kemarau kalau dihitung berdasarkan kalender matahari.
Dodo tiduran di kamarnya. Ada rasa tidak enak hati semenjak pertemuannya dengan
pak Dibyo dulu. Sepertinya itu adalah hantaman bagi Dodo yang sewaktu-waktu
mampu membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan sekolah. Dan itu benar,
semangat itu bak sumbu yang disulut oleh api. Segera dirinya bangkit
dari ranjangnya. Berniat mengunjungi temannya di desa sebelah. Dodo bermaksud
untuk mencari informasi sekolah STAN yang sebenarnya sudah pernah diketahuinya
dari guru dan juga kakak kelasnya sewaktu masih di SMK dulu. Temannya
itu bernama Riyan, sudah masuk ke STAN semenjak lulus tahun kemarin, tadi
sepulang dai kerja Dodo sempat bertemu dengannya di jalan. Rupanya pulang
kampung. Riyan bisa dikatakan sebagai teman yang akrab. Karena sehari-hari
sewaktu sekolah dulu selalu bersama. Kalau saja dulu ibu Dodo punya biaya
mungkin Dodo sudah menjalani pendidikan bersama dengan Riyan.
“Bu,
Dodo keluar sebentar ke tempat Riyan”. Segera diambil sepedanya lalu dikayuhnya
cepat-cepat. Samar-samar terdengar suara mengiyakan dari dalam.
“Memangnya kamu
mau lanjut Do, dan itu sudah kau pikir matang-matang?”, Tanya Riyan sahabatnya
itu.
“Iya, mumpung ada
semangat, kalau biaya nanti biar diusahakan”.
“Ibumu
sudah tahu perihal kau ini?, takutnya nanti seperti tahun kemarin, kau tak
diperbolehkan”. Tanya Riyan kedua kalinya. Dodo tampak menggaruk-garuk
kepalanya, ada sedikit rasa bimbang, antara tekadnya yang sudah terlanjur
membara dan ketakutan kalau saja ibunya tiada mengijinkan.
“Ya
nanti biar aku bicara baik-baik dengan ibuku, oiya bagaimana dengan kuliahmu?
Enak kan? Bagaimana dengan teman-temannya pasti berotak encer sama sepertimu
Yan...”.
“Kau
ini, aku sama kau kan pinteran kamu Do, tapi benar dech hampir tak ada waktu
santai Do, apalagi kalau menjelang ujian semester seperti sekarang wuihh
ketatnya minta ampun, aku saja ini pulang mau minta ridho dari orang tua
dan..., minta jatah bulanan juga tentunya he...he...”.
“Ah
kau Yan, berarti aku mengganggu waktu belajarmu dong?”
“Sama
sekali tidak Do, sebenarnya aku tadi juga mau ke tempat kamu, tapi keduluan
sama kamu. Namanya juga close friend, oiya, tadi sore kita juga ketemuan, tapi
aku terburu-buru ibuku minta dijemput pulang dari arisan”
Riyan
turun dari tempat duduknya, masuk ke kamarnya. Sementara Dodo membaca majalah
di meja depan. Beberapa lama kemudian Riyan muncul dengan selembar brosur di
tangannya. Brosur itu sengaja dibawa Riyan untuk Dodo dan rekan atau adik
kelasnya yang baru lulus. Melihat itu majalah yang dibacanya dikembalikan ke
tempat semula. Dodo membaca brosur yang sudah ditangannya. Seketika matanya
terbelalak waktu pendaftaran tinggal 2 hari lagi. Waktu yang tak lama.
Beberapa saat kemudian Dodo berpamitan
untuk pulang.
Sesampai
di rumah, Dodo sholat isya. Sementara adik-adiknya sedang sibuk dengan
kepentingannya masing-masing. Sementara Titi sedang belajar menulis huruf
abjad. Titi mendekati ayah ibunya yang sedang memilih-milih baju untuk dijual
besok.
“Bu,
ada yang ingin Dodo bicarakan tentu juga dengan ayah pula”, dengan segenap
keberanian dan tekad, Dodo membicarakan niatnya untuk sekolah di STAN.
“Ini
bila ayah dan ibu mengijinkan, sebenarnya ini adalah kemauan Dodo yang sejak
tahun kemarin Dodo urungkan, Dodo ingin sekolah Bu...”
Mendengar
itu ayah dan ibu Dodo kaget, namun berkat ekspresi Dodo yang menyimpan
kesungguhan itu membuat ayah dan ibunya merasa iba.
“Sekolah
di mana Do...STAN?” Tanya ayahnya.
Ayah
dan ibu Dodo berpandangan kemudian melihat Dodo yang masih dengan ekspesi
menunggu jawaban keduanya.
“Do...kau
anak yang pintar, kalau ini memang keinginanmu apa boleh dikata, ibu tidak bisa
menghalangimu lagi” jawab ibunya. Ibu
Dodo melihat ke Dodo, ada rasa haru dan enggan melepaskan Dodo bila memang
nantinya Dodo diteima di STAN. Namun melihat Dodo yang sehari-hari berjualan es
nino membuat hati ibu Dodo terketuk. Ini saatnya Dodo menentukan nasibnya
sendiri. Kalau ini untuk perubahan Dodo
ke arah yang lebih baik kenapa tidak.
“Benar
itu Dodo, kau laki-laki, kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan adik-adikmu
perempuan semua. Kau harus menjadi contoh yang baik. Ayah dan ibu merestuimu.
Masalah biaya nanti biar kami yang mengusahakannya. Benar kan Bu?”.
“Terima
kasih bu juga ayah yang sudah memberi ijin Dodo, dan waktu Dodo tinggal 2
hari”, mendengar itu kedua orang tua Dodo tampak resah,
“Bagaimana
ini, mendadak sekali Do, tapi biarlah ini ada uang kok, uang yang kau beri ke
ibu selalu ibu simpan untuk kepentinganmu, dan benar kan kau memang
membutuhkannya”. Mendengar itu Dodo merasa trenyuh, apakah seorang ibu memang
demikian, selalu di luar dugaan yang intinya adalah demi anaknya.
“Jadi
selama ini ibu menerima uang Dodo bukan untuk dipakai tapi disimpan Bu?”, tanya
Dodo.
“Benar
Do, sekarang kau siapkan segala yang kau butuhkan. Besok pagi-pagi kau bisa
membeli tiket bus. Ibu merestuimu, semoga langkahmu kali ini behasil”.
“Amin...”.
Setelah percakapan itu Dodo segera mempersiapkan yang dibutuhkan. Besok dirinya
akan menelpon paman Jito di Jakarta, paman Jito adalah tetangga ibunya di Solo
dulu sewaktu belum merantau seperti saat ini. Walaupun hanya tetangga tetapi
rasa pesaudaraan yang kental kerap membuat paman Jito berkunjung ke Blora,
selain untuk silaturrahmi ke tempat Dodo, tentu juga untuk mengunjungi kakak
paman Jito paman Suki namanya. Paman Suki tentu lebih akrab dengan keluarganya
karena jarak rumah yang hanya kuang lebih 2 kilometer. Untung saja dirinya masih menyimpan nomor
paman Jito. Jadi tidak pelu ke tempat paman Suki. Satu per satu mulai dari
ijazah dan copy legalisir, pas foto, pakaian, dan lain sebagainya telah Dodo
siapkan. Besok sebelum membeli tiket, Dodo mau ijin beberapa hari terlebih
dahulu ke bos es ninonya. Setelah itu Dodo sholat isya, makan malam dan tidur.
Tiba-tiba Titi mengetuk pintu, lalu membukanya dan berdiri di samping pintu ...
“Besok
aku diantar ke sekolah sama kakak?”
Dodo
yang mau saja beranjak tidur menjadi kembali bangun dan “Titi, besok kakak bisa mengantar tapi ada
syaratnya”,
“Apa
Kak?”
“Titi
mau ditinggal alias tidak usah kakak menunggui lama-lama, mengerti?, kakak
besok ada keperluan, penting...”
”Baiklah...”
jawab Titi melemah, setelah itu kembali menutup pintu.
4.
Dodo Beraksi
Mentari mulai menampakkan diri, adik-adik Dodo sibuk
menyiapkan diri untuk berangkat sekolah kecuali Tari yang baru saja lulus tahun
ini, sementara ibu dan ayah Dodo juga bersiap ke pasar,
“Do, ibu sama ayah mau berangkat dulu ya, ini uang
untuk membeli tiket, nanti ibu juga pulang agak awal, putra ibu kan mau ke Jakarta”, Titi yang baru saja
lewat tiba-tiba ikut berbicara.
“Kak Dodo, mau ke Jakarta...Titi sendirian kalau
berangkat dan es nino...” kata Titi dengan penuh khawatir mengingat es nino
kesukaannya.
“Titi, kakak itu mau mendaftar sekolah, kalau kakak
Dodo di Jakarta, nanti Titi sama aku” ucap Tari tiba-tiba.
“Benar itu Titi”, Piti ikut berbicara,
“Yahhh, Titi ga dapat es nino dehh”.
Setelah
mereka sarapan, masing-masing anggota keluarga berlalu dengan kepentingannya
masing-masing kecuali Tari, Titi dan Dodo. Selang kemudian Titi dan Dodo
berangkat ke sekolah Titi karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB.
“Titi
tidak usah ditunggui ya, ini kan sudah hari ke tujuh Titi sekolah, nanti kalau
pulang dijemput kakak Tari atau kakak sendiri kalau tidak repot, OK! ”
Titi
menganggukkan kepala, seketika Titi berlari ke ruang kelas, dari kejauhan Dodo
masih belum tega meninggalkan adik bontotnya itu, namun setelah melihat Titi
sudah bisa menyesuaikan diri dengan teman-temannya Dodo merasa lega. Apalagi
setelah ada ibu guru yang mengawasi murid-muridnya di depan pintu kelas Titi.
Bu Darni namanya. Dodo pun segera mengayuh sepedanya kembali menuju ke area
grosir es nino. Setelah itu melanjutkan untuk membeli tiket di agen bus malam.
Beberapa
jam kemudian. Setelah mendapat ijin dari bos, membeli tiket bus ke Jakarta
hingga menjemput Titi Dodo menyiapkan dan meneliti kembali piranti yang akan
digunakan untuk pendaftaran besok. Sejam kemudian pukul 11.00 WIB kedua orang
tua Tua Dodo tiba dari pasar. Di keranjang bawaan ibunya terlihat banyak sekali
makanan yang nanti akan dibawakan untuk Dodo juga paman Jito.
Dua
jam berlalu sudah, Dodo, orang tua, dan Titi sampai di agen yang letaknya
setengah kilometer dari rumah, sementara adik-adik Dodo lainnya tetap di rumah, Berbekal seadanya dan uang simpanan Dodo
sendiri ditambah uang dari ibunya sudah dirasa cukup. Lima belas menit kemudian
bus tiba tak lupa Dodo pamit ke orang tua dan juga Titi. Entah kenapa Titi
tidak menangis kala itu,
“Do,
nanti kalau sudah sampai Jakarta kabari kami ya...?”, pesan ibunya.
“Iya
Bu”. Dodo menaiki bus malam, selang beberapa menit setelah penumpang dari agen
Blora terisi berangkatlah bus itu. Titi dan orang tua Dodo melambaikan tangan
ke arah Dodo yang saat itu kebagian kursi
di pinggir dekat jendela, Dodo pun demikian.
Pagi-pagi
sekali pukul 05.00 WIB Dodo sudah sampai di Jakarta. Tiba di terminal Pulo Gadung
pukul 06.00 WIB, lalu Dodo mencari angkot jurusan ke tempat paman Jito.
Pagi-pagi sekali
pukul 05.00 WIB Dodo sudah sampai di Jakarta.
Beberapa
jam kemudian Dodo sampai di sebuah gang, karena ini pengalaman Dodo pertama
kalinya, Dodo meminta bantuan tetangga di sana. Untung masih ada orang baik
yang mau menunjukan rumah paman Jito. Tak lupa Dodo mengucapkan teima kasih
pada orang itu karena sudah membantunya menunnjukan jalan. Paman Jito yang saat
itu di rumah menyambut kedatangan Dodo begitupun anggota keluarga lainnya.
Setelah bercerita panjang dan memberikan titipan makanan dari ibu Dodo, Dodo
dipersilahkan untuk sarapan, kemudian mandi. Paman Jito mempunyai anak
laki-laki seumuran Dodo, Ali namanya , hanya bedanya anak paman Jito itu kuliah
sudah setahun kemarin di UNJ. Tentu saja ini keberuntungan bagi Dodo, karena
Ali bisa membantu menunjukkan kampus
STAN, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah paman Jito.
Sesampai
di kampus menaiki mobil paman Jito, Dodo yang diantar Ali, menuju ke area pendaftaran. Tak butuh waktu lama,
setelah melihat persyaratan Dodo yang
memenuhi, Dodo mendapatkan kartu ujian dari panitia. Di situ tertera bahwa 2
minggu lagi Dodo harus ke Jakarta kembali untuk mengikuti tes demi tes. Dodo
dan Ali kembali ke tempat paman Jito. Hari itu juga Dodo harus kembali ke Blora
karena tidak enak bila berlama-lama merepotkan paman Jito dan keluarga. Karena
paman Jito seorang sopir, Dodo diantar menuju ke terminal Pulo Gadung dengan
mengendarai mobil sekalian membeli tiket pulang.
Bus
sudah sampai di Blora, Dodo berhenti di pos pemberhentian. Sementara waktu di
jam tangan Dodo menunjukkan pukul 06.04 menit. Tak jauh pos itu dari rumah
Dodo, sehingga Dodo berjalan kaki untuk sampai ke rumahnya. Ada rasa bahagia
namun tak sepenuhnya karena dirinya bisa mendaftar di STAN. Sampailah Dodo di
depan pintu disambut oleh Titi,
“Kakak
pulang...kakak pulang, Bu, kakak pulang”, suara Titi yang keras itu membuat
seisi rumah menuju ke depan. Semua terlihat bahagia menyambut kedatangan Dodo.
Setelah
itu semua kembali seperti biasa, masing-masing melanjutkan aktivitasnya. Titi
diantar Tari ke sekolah, setelah itu Tari bekerja sebagai juru tulis, Yaya dan
Piti sekolah, dan ayah, ibu Titi pergi ke pasar. Hanya Dodo yang di rumah
sendirian. Dirinya merasa letih sekali. Tak terasa dirinya tidur di kursi, dan
terbangun pukul 10.15 WIB. Terdengar suara Titi dan temannya bermain di luaran
sana. Dodo pun mandi. Setelah itu pergi ke kamar untuk belajar latihan soal
STAN yang didapatkan dari Riyan. Waktu 2 minggu benar-benar dimanfaatkan Dodo
untuk belajar, meskipun di pagi hari hingga sore Dodo tetap berjualan es nino. Untung
saja usahanya tidak sia-sia, selama Dodo berjualan dagangannya selalu laris
manis.
Untung saja
usahanya tidak sia-sia, selama Dodo berjualan dagangannya selalu laris manis.
Hasil
laba es dia kumpulkan untuk menambah finansial ke Jakarta 2 minggu ke depan.
Hari berganti hari, hari ke-11 hingga usai ujian nanti Dodo berniat libur
jualan es. Dirinya ingin benar-benar fokus belajar. Dan waktu ke Jakarta tiba
yaitu hari ke-13 atau H-2. Seluruh isi rumah ikut mendoakan Dodo. Dengan
harapan semoga perjalanannya kali ini berhasil. Bus yang dikendarai Dodo
melesat dengan cepat. Hingga tak tampak lagi.
Sesampai
di Jakarta Dodo menuju ke kos iyan sahabatnya itu. Dodo sudah mengetahui alamat
itu dari Riyan sendiri. Dua hari yang lalu Riyan menelpon Dodo supaya Dodo
menginap di tempatnya saja. Daripada di paman Jito letak kampus dengan kos
Riyan lebih dekat. Dengan mudah Dodo menemukan kos Riyan, apalagi Riyan di
teras menunggu kedatangannya. Sesampai di sana Dodo berbincang sejenak, mandi
lalu sarapan. Riyan yang menyiapkan segalanya. Sungguh Riyan memang sahabat
sekaligus tetangga yang baik hati. Dodo bersyukur sekali mempunyai teman
seperti itu.
Bel
masuk berrbunyi yang artinya saat ujian akan dimulai. Dodo berusaha menenangan
hati dan pikirannya. Terdengar suara langkah sepatu petugas penunggu ujian
menuju ke ruangan. Petugas mulai membagikan lembar jawaban dan soal. Sebelum
penanya menembus lembar jawaban Dodo berdoa terlebih dahulu. Dodo pun
melaksanakan ujian dengan penuh semangat dan hati-hati. Terlihat para peserta
lain juga demikian. Mereka datang dari seluruh penjuru tanah air dengan maksud
dan cita-cita yang sama. Mungkin hanya tingkat usaha yang membedakan.
Ujian sudah
dijalani Dodo dengan lancar. Dodo menelpon Riyan
melalui telepon umum di sekitar kampus, mengatakan kalau dirinya ingin langsung
pulang. Seketika
itu Dodo meninggalkan kampus menuju ke terminal Pulo Gadung, untung
saja ada bus malam jurusan Blora jam lima sore. Hari itu pula Dodo meninggalkan Jakarta. Dan berharap bisa kembali ke
Jakarta lagi untuk mengikuti tes berikutnya.
Sesampai di
rumah Dodo mencari Titi, rupanya ada sesuatu untuk Titi, tadi sewaktu di bus
malam Dodo mendapat jatah roti keju dan permen. Hanya minumnya saja yang diminum Dodo. Karena Titi
suka sekali dengan roti keju, Dodo tidak memakannya.
Namun tak ada seorangpun di rumah. Pintu depan terkunci, Dodo mencoba melewati
pintu belakang, untung saja tidak terkunci. Rupanya Titi sudah berangkat
sekolah dengan Tari. Dodo merasa letih sekali. Dirinya beranjak mandi. Kemudian
menyusul ayah dan ibunya ke pasar.
“Dodo, kau
sudah pulang nak?”
“Iya Bu tadi
pukul 06.45 Dodo sampai rumah. Di rumah tidak ada orang tadi Dodo masuk lewat
pintu belakang”.
“Bagaimana
ujian kemarin Do?”
“Alhamdulillah
lancar Bu, Bapak di mana?”
“Bapak
membayar listrik, kau sudah makan Do?”
“Belum, masih
malas Bu...”
“Do, ibu
berharap kau bisa lulus nak, kamu tahu sendiri kan, swasta itu seperti ini, yah
kadang laku kadang tidak. Sebisa mungkin kamu berbeda dari orang tuamu ini”.
“Iya Bu, Dodo
juga ingin berubah, Doakan Dodo ya Bu?” sambil ikut menata dagangan ibunya.
Dari jauh,
bapak Dodo terlihat berjalan cepat-cepat.
“Do sudah
pulang? Kapan tibanya?”
“Barusan Pak,
Dodo jenuh sendirian, Titi sudah berangkat. Yah...Dodo ke sini”.
“Sudah
sarapan apa belum?, tu di depan ada warung kalau kamu lapar ke sanalah”.
“Tidak Pak,
Dodo malas makan”.
Tiba-tiba ada
calon pembeli yang menghampiri, sambil melihat-lihat barang dagangan.
“Silahkan Bu,
dilihat-lihat dulu ga pa..pa, memangnya mau cari apa Bu?”
“Atasan Bu,
yang bunga-bunga ada?”
Mendengar itu
Dodo membantu ibunya mencari-cari atasan yang dimaksud.
“Ini Bu ada”.
Dodo menyodorkan ke calon pembeli itu.
“Coba Mas tak
lihatnya dulu, dibuka baju itu dari plastik, lalu ditempelkan ke badannya”.
Ucap pembeli itu.
“Nah tu Bu
cocok banget di badan ibu, pas juga ukurannya”, ucap ayah Dodo. Sementara ibu
Dodo melangkah pergi hendak mencari pesanan pembeli di sales. Hari ini hari
kamis, biasanya sales-sales banyak yang datang pada hari ini.
“Pak pergi
dulu, ibu mau beli dagangan, Do nanti jangan lupa
sarapan
lo ya?” pesan ibunya. Dodo hanya mengangguk. Rupanya pembeli itu merasa cocok.
Ayah Dodo yang memberi harga. Lumayan dapat untung hampir separuh harga. Memang
dalam hal mengambil untung ayah Dodo paling lihai ketimbang ibu Dodo yang
mempunyai prinsip untung sedikit yang penting lancar. Maksudnya dengan untung
sedikit itu bisa menarik pelanggan.
Dodo
tersenyum sendiri, melihat ayahnya bisa meraup untung hampir separuh harga baju
itu.
“Yah..beginilah
Do, kalau ayah mengambil untung banyak, ayah tidak mau seperti ibumu. Pembeli
itu kan tidak pasti, maka sekali pembeli itu datang dan suka dengan dagangan
ini, ya...ayah ambilah untung banyak. Masalah jadi pelanggan atau tidak ...”
“Dipikir
belakang ya Pak”, sambung Dodo
“Tuh dia,
maksud kan sama Bapak”. Sambil manggut-manggut. Keduanya
pun tertawa bahagia. Kebetulan ibu Dodo tadi membeli singkong goreng,
ditawarkan oleh ayahnya ke Dodo. Dodo suka
sekali singkong goreng, lalu memakannya dengan lahap. Seusai melahap singkong itu Dodo pamit ke ayahnya.
“Pak, Dodo pulang dulu ya...nanti tolong bilang sama ibu”.
“Kau mau ke mana Do, nanti kalau ibumu mencarimu bagaimana?”.
“Dodo ingin tidur Pak, semalam di bus susah tidur. Entah kenapa”.
“Kalau itu maumu baiklah. Istirahatlah, tolong nanti bilang ke Titi
supaya tidak main ke mana-mana, apalagi ke sungai seperti anak-anak
kebanyakan”.
“Iya Pak..”, jawab Dodo.
Malam hari tiba, keluarga Titi berkumpul bersama,
Malam hari tiba, keluarga
Titi berkumpul bersama kakak-kakaknya.
Dodo becerita kepada ayah, ibu dan adik-adiknya selama di Jakarta. Titi
yang juga mendengar itu menjadi ingin sekali pergi ke Jakarta. Seisi rumah
menertawai Titi, malam itu terasa bahagia sekali. Bisa berkumpul dan berbagi
cerita bersama.
Keesokan harinya seperti biasa Titi minta diantar kakaknya Dodo, Dodo
yang menyayangi adiknya itu menuruti saja, asalkan adiknya mau sekolah. Setelah
mengantar Titi, Dodo ke area grosir es nino. Tak lupa menyapa bos dan rekannya.
“Do, gimana kabarnya hampir seminggu tidak kelihatan kau...”, ucap Tono
rekannya.
“Iyaa, Ton, kemarin baru balik dari Jakarta”.
“Wahhh ke ibukota rupanya, oleh-oleh ni”, goda Tono
“Oleh-oleh apa Ton, capek...”, jawab Dodo sambil tersenyum.
“Mau ambil berapa Do”, Tanya bosnya.
“200 pak”.
“Ga nambah Do, hawanya panas lo siapa tahu laris..”
“Tidak Pak, baru permulaan, khawatir tidak habis”.
“Iyalah...kadang cuaca memang tidak bisa ditebak, sekarang cerah,
eee...nanti hujan”. Dodo pun berangkat dengan semangat. Setelah menghabiskan
semua dagangan, Dodo melihat jam tangan menunjukkan pukul 05.00 WIB. Sebelum ke
area grosir es Dodo mampir ke mushola untuk sholat ashar. Tidak seperti
biasanya, kali ini Dodo sholat kesorean, setelah menunaikan kewajiban Dodo
mengembalikan gerobak es nino sekaligus setor ke bosnya.
Dua minggu
kemudian Dodo mendapat kabar dari Riyan kalau Dodo
lolos seleksi tes tertulis. Dodo merasa senang sekali
atas berita itu, keluarga Titi pun merasa senang mendengar kabar itu.
Akhirnya
seleksi demi seleksi dilalui Dodo dengan keberhasilan. Berkat kegigihan dan kesungguhannya
pula semua itu terjadi tentu juga karena doa orang-orang terdekatnya. Proses
belajar yang tidak sebentar, membuat Dodo harus bersemangat. Dodo melalui itu
semua dengan sungguh-sungguh. Tentu semua itu dilakukan supaya dirinya tidak
terdrop out. Usahanya itu berhasil, waktu wisuda tiba. Ayah, ibu dan juga Titi
hadir dalam acara itu.
“Do, selamat
ya nak, kau bisa menempuhi ini semua dengan lancar”, ucap ayahnya
“Terima kasih
Pak, tentu berkat usaha ayah dan ibu juga yang mau membiayai Dodo”.
“Itu
kewajiban kami do, bukan begitu Bu?”
“Betul Pak,
lagipula kau kan juga punya uang bulanan sendiri Do, jadi ibu merasa ringan”.
Beberapa hari
di Jakarta, akhirnya mereka kembali ke Blora. Sesampai di terminal mereka
menaiki nomor bus dan kursi sesuai yang tertera di tiket bus. Ada rasa haru di
wajah Titi, ketika melihat ekspresi kakaknya di luar. Dodo menyodorkan nasi
bungkus melalui kaca bus. Saat itu juga Titi tak bisa menahan tangis, bus pun
hendak berangkat. Dodo tak memahami arti tangis adik bontotnya itu. Hanya
lambaian tangan Dodo yang terlihat dari luar, Titipun semakin terisak. Ternyata
Titi merasa iba dengan kakaknya. Titi merasa kasihan kakaknya sendirian di
sana. Padahal Dodo enjoy menjalani itu.
Selama di
perjalanan, Titi masih menangis, ibunya menghiburnya dengan sabar. Dikeluarkan
nasi bungkus itu lalu Titi disuapi ibunya. Dalam kondisi agak reda Titi
ditawari makan dengan lauk rendang daging kerbau yang besar-besar seratnya itu.
Lucu juga rupanya, dalam seketika tangis iba itu menghilang setelah Titi
melihat makanan yang belum pernah dilihat olehnya sebelumnya. Rupanya makanan
itu tidak menarik bagi Titi pada awalnya. Namun karena ibu Titi yang lihai
membujuk akhirnya mulut Titi terbuka ketika disuapi ibunya. Sambil sesekali
terisak, makanan itu dilahapnya. Untung saja Titi tidak tersedak.
Beberapa jam
kemudian Titi sepertinya sudah lupa dengan tangisnya tadi, dia terlelap tidur.
Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 WIB, bus sampai di Blora.
Beberapa
minggu kemudian Dodo balik ke Blora, Dodo menjalani masa magang di daerahnya
sendiri.
Dodo menjalani masa magang di
daerahnya sendiri.
Keadaan
seperti ini membuat kondisi kembali seperti semula ketika Dodo masih berjualan
es nino. Yaitu kebersamaan seperti keluarga pada umumnya.
Masa 3 bulan
sudah dilewati Dodo, Dodo kembali ke Jakarta melaporkan hasil magang, sekaligus
untuk menerima surat penugasan kerja. Sekembalinya dari Jakarta, Dodo
mengabarkan perihal dirinya, ibunya yang pertama kali diberitahu oleh Dodo.
Mendengar kabar itu ibu Dodo merasa berat sekali melepas Dodo.
“Dodo, kalau
kau mengajukan ke Jawa bisa Nak...”. Tanya ibunya dengan polosnya.
“Bu, ini
waktu pertama kali Dodo bekerja, surat tugas sudah ditentukan oleh pusat.
Jujur, Dodo tidak bisa menolaknya Bu”.
“Begitu ya
Nak, Do...nanti kalau kamu di sana jangan sekalipun lupa sama emakmu ini ya...
sering-seringlah kasih kabar ke ibu”.
“Ya Bu, Dodo
akan sering menelpon ibu”.
Waktu Dodo
untuk berangkat ke Ambon telah tiba, ada rasa haru Dodo dengan orang tuanya
terlebih ibunya yang saat itu sering sakit setelah mendapat kabar penempatan
Dodo. Namun apa boleh buat itu adalah tugas negara yang harus dijalani. Titi,
entah mengapa tidak begitu bersedih seperti waktu perpisahannya dengan Dodo di
Jakarta dulu. Mungkin karena Titi sekarang lebih sering bergaul dengan
teman-temannya sehingga tidak begitu tergantung dengan Dodo. Mereka sekeluarga
melepas Dodo ke Ambon bersama-sama dengan mobil sewa yang disopiri oleh
tetangga sebelah, Pak To namanya. Pak To yang sudah berpengalaman dan terbiasa
pergi ke luar kota sangat lihai dalam mengemudi mobilnya. Cepat sekali
kemudinya. Hingga sampailah di Bandara Juanda, Surabaya.
Dodo
berpamitan ke ibu, ayah dan adik-adiknya. Juga dengan pak To. Selama di pesawat
Dodo berbincang dengan hatinya sendiri ada rasa bahagia, haru yang bercampur
aduk. Dodo tersenyum dengan dirinya sendiri. Bagi dia si penjual es nino sudah
tiada lagi sekarang si penjual es nino itu telah menanggung tanggung jawab baru
yang lebih berat. Sebagai pegawai alumni STAN yang bergaji tinggi.
5.
Dodo Menjelajah Pulau Indonesia, Titi kapan?
Setibanya di Ambon, Dodo menuju ke tempat kerjanya menggunakan taxi. Di
sana dia langsung menemui atasannya. Kemudian menunjukkan surat tugasnya
sebagai bukti diri. Pimpinanannya memercayainya, karena sudah ada pemberitahuan
sebelumnya dari kantor pusat. Dodo diberikan rumah dinas untuk dihuninya. Ini
bukan pertama kali Dodo tanpa keluarga, karena semasa kuliah dulu Dodo sudah
terbiasa kos. Hanya saja kali ini jarak yang membentang membuatnya terlihat
terpisah begitu jauh. Untung saja ada sarana telekomunikasi yang bisa
mempertemukan Dodo dengan ibu, ayah dan adik-adiknya.
Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada canda tawa dari ayah, ibu dan
sanak saudara. Dodo sekarang bergelut dengan pekerjaannya, kalau dulu di
jalanan sekarang di ruang khusus yang ber-AC.
Dodo sekarang bergelut
dengan pekerjaannya, kalau dulu di jalanan sekarang di ruang khusus yang
ber-AC.
Begitulah nasib Dodo sekarang, menjadi pegawai sekaligus menjadi
perantauan yang menanggung tugas negara. Untuk pulang kampung pun mesti
menunggu waktu cuti. Atau kalau ada keperluan yang betul-betul mendadak dan
penting dan itu paling hanya beberapa hari saja. Setiap hari berangkat pukul
08.00 WIT pulang pukul 17.00 WIT kadang-kadang juga lebih kalau ada lemburan.
Kecuali hari sabtu dan minggu Dodo bisa istirahat di rumah. Di waktu itulah
Dodo bisa berlibur di sana dengan teman-temannya sekantor.
Hari ini hari minggu pagi, kalau
di Ambon pukul 07.00 WIT tentu di Bloa pukul 05.00 WIB selisih waktunya adalah
2 jam. Usai Dodo mandi tiba-tiba bel telepon berdering, rupanya ayah Dodo yang menelepon,
ingin menyampaikan rasa rindu dan menceritakan kalau ibunya kangen sekali pada
Dodo. Hampir setiap hari semenjak kepergiannya ke Ambon, ibunya sering berdoa
dan menangis sendiri, dengan harapan semoga bisa lekas pindah ke Jawa.
“Ayah, bagaimana kabarnya? Ibu, juga adik-adik...
“Baik Do, Cuma ibumu kadang masih menangis kalau igat kamu Do...” jawab
ayahnya.
“Mana ibu ...Dodo ingin bicara”
“Dodo anakku, bagaimana kabarmu nak..., kapan kau bisa balik Blora?”
Suara ibu Dodo yang agak parau memecah kesunyian sementara, tampaknya ibu Dodo
menangis.
“Ibu tak usah khawatir, Dodo di sini baik-baik saja. Lagipula Dodo kan
sudah dewasa. Ibu harus memikirkan kesehatan ibu sendiri. Nanti kalau sakit
bagaimana coba, kasihan ayah dan adik-adik to?” Dodo berbicara seakan memberi
nasehat kepada ibunya.
“Entahlah Do, ya seperti ini ibumu, kecil hati, ibu sudah mencoba
berbesar hati menerima kenyataan, namun sulit Do...”.
“Ya...doakan saja Bu, Dodo bisa kembali ke Jawa”.
“Iya nak ibu selalu mendoakanmu, kamu ga menanyakan Titi?” seketika
ibunya memotong topik bahasan, mencoba mengingatkan Dodo pada adiknya.
“Iya, bagaimana dengan si bontot Bu, Tari, Piti dan juga Yaya? Mereka
baik kan?” Tanya Dodo selanjutnya.
“Titi sudah pintar, hampir jarang di rumah main terus dengan
teman-temannya, kalau Tari ikut kursus menjahit sekarang, Piti dan Yaya masih
sekolah to”. Penjelasan ibu Dodo yang gamblang membuat Dodo menilai kalau
ibunya sudah tidak sedih lagi seperti waktu sebelumnya Dodo pun menjadi lega
dibuatnya. Entah mengapa kalau Dodo mendengar ibunya menangis Dodo menjadi ikut
berpikir dirinya seketika itu pula mau balik ke Blora, namun akal pikirannya
memaksanya untuk mengenali realitas yang ada saat ini bahwa itu tidak mungkin.
“Baiklah Do, ibumu ini bepesan jaga baik-baik ya dirimu, makan yang
banyak biar sehat ?”. Pesan ibunya seperti mau menutup bahan pembicaraan.
“Beres Bu, di sini ikan banyak kok, sayur yang mahal...” Dodo tertawa.
Mendengar Dodo tertawa, ibunya pun ikut terrtawa.
“Ibu akhiri ya, lain
waktu disambung lagi”.
“Nanti Dodo biar yang telpon, Wassalamualaikum Bu”.
“Waalaikum salam Warohmatullahi Wabaokatuh” tutup ibunya. Setelah
menerima telepon, Dodo ingin menghibur diri. Dirinya ingin ke pantai. Biasanya
kalau ingin menyegarkan pikiran dan mencari hiburan orang-orang pergi ke pantai
untuk melihat laut dengan ombak yang bergulung-gulung juga pasir putihnya yang
menawan. Ini adalah pengalaman pertama Dodo pergi ke pantai bersama rekan
kerjanya Wawan namanya. Wawan berasal dari Jogjakarta. Lulus di tahun yang
sama. Sesampainya di sana Dodo melihat banyak sekali orang suku Ambon yang
bermata pencaharian sebagai nelayan. Ikan di sana memang murah, ikan sebagai
hasil laut yang utama. Hiasan dari mutiara juga kerang mutiaranya pun banyak
dijumpai di sana. Dodo membeli cindera mata dari kerang mutiara berupa
kaligrafi yang elok sekali. Besok kalau balik Blora akan dibawanya hiasan itu.
Selama di perjalanan menuju ke hunian Dodo menyapa orang-orang yang asli suku
Ambon. Mereka pun juga ramah. Mungkin karena adanya rasa sebangsa dan setanah
air juga sebahasa membuat mereka seperti disatukan oleh semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Sebuah semboyan yang sudah berurat akar dan mendarah daging sedari
dulu. Maka tak heran bila mereka membalas senyum Dodo kala itu.
Beberapa bulan kemudian Dodo harus ke Jayapura untuk mengikuti Diklat
selama sebulan. Keluarganya diberitahu olehnya. Di sana secara kebetulan Dodo
bertemu dengan kakak sepupunya. Mendengar itu ibunya merasa bertambah
lega. Meski harus balik lagi ke Ambon
Dodo tetap menjalani pekerjaannya dengan senang hati karena itu adalah
cita-cita nya sejak awal. Hingga beberapa tahun kemudian Dodo kemudian
dijodohkan oleh ibunya dengan gadis Blora yang ternyata juga teman semasa SMP
dulu. Dodo menurut dengan pilihan ibunya itu. Meskipun di sana Dodo sebenarnya sudah menjalin kasih dengan gadis
Ujung Pandang namun ibunya tidak menyetujuinya, bukan karena suku yang berbeda,
namun ibu Dodo khawatir kalau anak laki-lakinya tidak balik ke Blora bila
mendapat jodoh orang luar Jawa. Bagi Dodo pilihan ibu adalah yang terbaik. Maka
dijalaninya itu semua.
Setelah menikah dan mempunyai satu anak, di Ambon terjadi kerusuhan.
Kekacauan terjadi di mana-mana. Kondisi itu membuat ibu dan keluarga Dodo
menjadi tidak tenang. Hingga akhirnya Dodo didesak ibunya untuk mengajukan
pindah supaya bisa ditugaskan di Jawa, awalnya sulit, namun karena kondisi dan
juga berkat doa dari orang-orang terdekatnya. Akhirnya Dodo bisa pindah ke
Blora. Setelah itu ke Riau dan sekarang di Jakarta ibukota Negara.
Titi yang sudah besar dan dewasa tidak lagi manja seperti dulu. Menurut
Titi, sudah saatnya bagi dirinya untuk mencontoh perilaku kakaknya itu tanpa
melepaskan pibadinya sendiri. Dodo adalah seorang kakak yang gigih dan bisa
menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Melalui perjuangan yang tak kenal lelah akhirnya bisa mencapai posisi
puncak kesuksesannya. Membuat Titi dan juga keluarganya turut bangga. Piti yang
sudah bisa menyusul kakaknya itu dengan cara dan kesuksesannya sendiri. Hingga
kemudian ayah dan ibu mereka tiada, mereka masih menjadi keluarga yang saling
menyayangi.
Hingga di suatu hari, bersama dengan angannya yang melambung Titi
berucap,
“Kalau kak Dodo sudah meraih
mimpi dan menjelajahi pulau-pulau di Indonesia, Titi kapan? “.
Terasa dunia ini membisu dengan pertanyaan Titi. Tak ada suara tanggapan
apalagi jawaban. Hanya suara angin yang berbisik, menembus celah-celah genting,
dan masuk dengan leluasa melalui jendela kamarnya. Sesaat dirinya
terkenang dengan ayah dan ibunya. Mendiang
ayah dan ibunya pun tiada mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan Titi. Namun
ibunya sempat tahu cita-cita Titi kala itu.
Tiba-tiba saja ada yang berbicara,
“Titi tiada yang tahu nasibmu ke depan, tak ada yang bisa menentukan
nasibmu itu, langkahmu ditentukan oleh dirimu sendiri, perjuanganmu sendiri dan
nasibmu itu juga ada di tanganmu sendiri”. Terdengar sayup-sayup suara itu.
Hingga membuat Titi tersadar dari angannya itu bahwa itu adalah suara dari bilik
hati kecilnya sendiri . Titi sudah berambisi ingin seperti kakaknya itu.
Titi yang sudah dewasa pun mulai menyadari bahwa dirinya hanya mampu
menjalani, menikmati dan mensyukuri yang ada. Mungkin benar bersyukur adalah
jalan terbaik untuk menuju ke yang lebih baik. Sambil terus dan terus berusaha
serta tiada lupa berdoa pada Sang Pencipta.
By: Wiji Sayekti (pernah ikut dalam lomba Bahan Bacaan Fiksi Kemdikbud 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar