Rabu, 30 Mei 2018

KEGIGIHAN SEORANG KAKAK
1.    Seperti Biasa
“Titi, tidak boleh kemana-mana ya...apalagi ke sungai...” pesan Dodo pada adiknya.
Seperti biasa pagi-pagi sekali Dodo menyiapkan diri untuk bekerja. Sebagai seorang penjual es nino pagi sekitar pukul 08.00 harus stand by di tempat. Tak pernah sebelumnya dirinya berfikir akan menjadi penjual es. Sebagai kakak sulung dirinya merasa bertanggung jawab membantu orang tuanya untuk bekerja. Apalagi sekarang Dodo sudah lulus SMK.
“Ya... kak ” jawab Titi menuruti pesan kakaknya.
Tanpa disadari oleh sang kakak, Titi diam-diam membuntuti Dodo yang mengenakan kaos oblong biru muda dari belakang. Sesampai di tempat grosir es nino, Titi menyembunyikan dirinya dibalik rumah tetangga. Seperti biasa Dodo menyapa bos dan rekan-rekannya. Di mata mereka Dodo adalah pemuda yang baik, sopan dan bertanggung jawab tinggi.
“Wah Dodo, makin semangat saja ni...” ucap Tono rekannya.
“ Iya Ton, masa ga semangat, masih muda, banyak kebutuhan..” sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“ Ah kau ini kayak sudah berkeluarga saja, memangnya apa kebutuhanmu?? ” sambil mendongakkan kepalanya Tono ingin tahu, “ paling juga merokok ”.
“Tidak, sebisa mungkin aku menjauhi rokok“
“Itu lebih baik untukmu Ton, jangan seperti aku yang sudah terlanjur, yuk Do, duluan ya“ Tono berlalu meninggalkan Dodo yang sedang antri mengambil es.
 “ Iya Ton“ balas Dodo sambil menungging senyumnya
“Dodo ambil berapa???” tanya si bos.
“200 buah Pak“
“Hebat kau Do, makin hari makin bertambah, kemarin sudah habis 150, dan sekarang bertambah 50. Mudah-mudahan habis semua Do... “
“Iya Pak banyak kebutuhan..., Amin doanya”
Sementara Titi masih sembunyi di balik dinding rumah, sesekali kepalanya menengok ke arah kakaknya, Dodo yang sudah memenuhi gerobak es dorongnya dengan es lekas-lekas berlalu setelah berpamitan. Alunan es nino yang menarik siapa saja yang mendengar mulai terdengar merdu, maka tak heran bila banyak yang menoleh ke arah Dodo di sepanjang jalanan. Entah karena tertarik dengan penjualnya yang mempesona atau musiknya atau mungkin kedua-duanya. Beberapa langkah meninggalkan area grosir, tiba-tiba...
“Bang...beli, tapi tunggu ya...” teriak seorang anak kecil sambil berlari masuk ke dalam rumah. Dodo paham maksud anak tersebut. Seketika anak itu keluar.
“Beli 3 Bang...” sambil memberikan uang ke arah Dodo.
“Kok banyak buat siapa saja Dik?“ sambil merogoh es nino di dalam gerobak itu.
“Aku 2, ibuku satu Bang”. Es nino memang enak apalagi yang rasa durian. Tak peduli tua atau muda apalagi anak-anak semua pasti suka ditambah abang penjual seperti Dodo yang selain ramah juga sopan kepada siapa saja. Anak itu berlari. Dari kejauhan tampak seorang ibu yang tadi dibelikan es nino oleh anaknya, memegang es nino itu dan siap untuk menikmati. Dodo tersenyum. Baru saja mau berlalu,
“ kak...tunggu “ suara yang sangat dikenal itu membuat Dodo seketika memalingkan wjahnya ke belakang.
“ Titi, kenapa kau buntuti kakak “ pertanyaan Dodo tiada dijawab oleh Titi, namun Dodo paham akan gelagat adiknya yang pasti mau minta es nino.
“ Titi lain kali jangan seperti ini lagi ya...” pinta Dodo sambil memberi sebuah es nino ke adik bungsunya itu. Memang ini bukan kali pertama Titi membuntuti kakaknya. Kalau tidak mengikuti ke area grosir terus diberi si bos es durian 2 atau 3 buah. Ya beginilah cara Titi untuk mendapatkan es nino itu.
“Titi pulanglah, kau tidak sepatutnya mengikuti kakak terus”
Namun itu tak membuat Titi bergeming, seakan masih ada yang diinginkan. Mengetahui hal itu, Dodo mengambil es nino satu lagi dan dia beriakan ke adiknya.
“Kakak sudah memberimu 2 sekarang Titi harus pulang, dan ingat jangan ke mana-mana ya?“
Dengan langkah ragu Titi meninggalkan kakaknya, sesekali menoleh ke belakang, ke arah kakaknya. Sepertinya Titi memang ingin mengikuti kakaknya itu berjualan es. Namun apa daya pesan ditambah ekspresi galak kakaknya membuat Titi mengurungkan niatnya untuk terus membuntuti Dodo.
Selama perjalanan Dodo selalu mengenakan topi. Selain untuk menutupi kepalanya melindungi dari paparan sinar matahari, topi itu juga digunakan untuk menutupi wajahnya dari orang yang dikenalinya. Ada rasa malu juga bagi Dodo untuk berjualan es. Namun apa daya keadaan memaksanya untuk tetap melakukan itu. Apalagi  kalau bukan karena  rasa tanggung jawab yang tinggi  ditambah sebab koneksi kerja yang tidak ada untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Kalaupun ada orang yang tahu kalau Dodo berjualan es pasti itu adalah tetangga dekatnya. Terhadap tetangganya pun Dodo suka membantu, seperti waktu dahulu usai lulus sekolah, Dodo dimintai bantuan untuk membuat septictank. Dengan senang hati Dodo bersedia membantu.
Malam itu Dodo mendekati Titi yang sedang mendengarkan radio bersama dengan Tari, Tari memang suka sekali dengan golden memories song. Titi pun dengan lagak sok bisanya mengikuti irama musik itu.
“Titi, besok lagi kamu jangan mengikuti kakak ya...?“
“Tapi Titi pingin es nino” sambil merengek
“Kalau kamu mau besok kakak bawa pulang es nino kesukaanmu itu. Tapi satu saja ya?“
“Dua, tiga kak Titi suka sekali es nino. Apalagi yang rasa durian”. Sambil memegang tangan kakaknya.
“Tapi itu dagangan Titi, untung kakak nanti habis lho“
“Uhh...kakak pelit “ Titi mengatupkan kedua bibirnya.
Bukan maksud Dodo untuk pelit ke adiknya, melainkan memang untung dari es yang hanya beberapa rupiah. Tidak hanya itu saja tentu ada alasan lain yang lebih berarti, yaitu Titi adalah anak yang mudah pilek bila terlalu banyak es. Justru nanti Dodo yang kena omelan dari ibunya.
“Titi benar kata kakak, kamu itu tidak boleh di jalanan membuntuti kakak apalagi meminta-minta es segala...” Tari ikut nimbrung. Tari adalah kakak kedua titi.
Titi yang tidak peduli Tari berkata-kata kembali bermain orang-orangan dari kertas. Sesekali rambutnya yang merah karena sering kepanasan dia tolehkan ke kanan dan ke kiri.
“Ah kakak itu pelit-pelit, besok aku mau beli saja pakai uang yang diberi oleh ibu”, Titi bernada ngambek dengan lagak yang tidak mau dikasihani itu tetap bermain orang-orangan. Kedua kakaknya tersenyum melihat tingkahnya yang cepat sekali membela diri dengan rasa gengsinya yang tinggi.
“Ti...ti... memang uang sakumu berapa? Memangnya cukup untuk beli 2 es nino?” goda Tari.
“Kenapa tidak, kalaupun kurang pasti kak Dodo memberiku lagi”
“Kalau itu sama saja kamu menerima pemberian, katanya mau beli sendiri saja?” goda Tari kedua kalinya.
“Tapi khan aku beli” Titi membela diri
“Iya, hanya cukup untuk 1 es, maumu khan 2” Tari mencibir.
“Ya ga pa pa, aku khan anak kecil”. Titi balas mencibir.
“Ah kau ini Ti, dibilangi masih juga membantah, kau memang pintar ngeles”.
“Sudahlah Tari, kau sama saja anak kecil kau ladeni”. Bela Dodo.
“Tu khan...”. Celetuk Titi.
“Kakak sich suka membela Titi, ya maklum adik paling bontot”, Tari mencubit pipi Titi, walaupun sedikit jengkel Tari juga gemas melihat Titi yang mungil, berambut merah itu meringkuk asyik memainkan orang-orangannya yang baru saja dibelinya kemarin di warung depan jalan raya.
2.    Perjumpaan dengan Pak Guru
Mentari sudah mulai condong ke barat. Menunjukkan waktu sudah beranjak sore. Sementara Dodo masih mendorong es nino dagangannya.
“Mas jangan keras-keras alunan musiknya, ada yang sedang belajar...” Tiba-tiba saja matanya tertuju pada seorang lelaki usia lima puluhan. Spontan topi yang dia kenakan diturunkan dengan maksud tak dilihat oleh lelaki itu yang tak lain adalah eks-gurunya sewaktu SMK. Rupanya Dodo terlambat, usahanya tadi sia-sia. Pak Dibyo sudah menaruh curiga setelah menegur tadi. Pandangan pak Dibyo yang tadi datar seketika menatap ke arah Dodo menjadi berubah. Pak Dibyo menyadari bahwa Dodo adalah muridnya setahun kemarin. Wajar bila pak Dibyo teringat akan Dodo, karena Dodo selalu juara di SMK. Pak Dibyo mengacungkan jempol ke arah Dodo, Dodo pun menundukkan kepalanya tanda penghormatan.





Ada rasa antara senang dan seperti tersayat-sayat di hati Dodo. Murid seperti dirinya yang semestinya melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi atau kerja di kantoran walaupun hanya sebagai juru tulis sekalipun, saat ini hanya mampu untuk berjualan es nino di sepanjang jalanan itupun dengan berjalan kaki. Biarlah nasib sedang mengijinkan saat ini Dodo untuk berjualan es nino. Dodo berlalu dengan rasa malu yang baru saja muncul setelah perjumpaannya dengan gurunya.
“Kakak sedang menghitung uang, horeee nanti aku dikasih uang jajan.. laris ya kak?”
“Ya, Alhamdulillah, uang ini bukan milik kakak sepenuhnya tapi juga ada hak ibu, Titi mengerti kha?”
“Kan kakak yang mencari uang, ayah dan ibu juga sudah bekerja, kenapa mesti dikasihkan ke ibu Kak?” Ada rasa ingin tahu Titi yang membuat Dodo harus menerangkan secara gamblang, agar Titi mengerti.
“Titi, ayah dan ibu harus menanggung kak Tari, kak Yaya, kak Piti dan kamu, jadi kakak sebagai kakak tertua sudah sepatutnya membantu ayah dan ibu kan, mengerti kau Titi?”, ekspresi Dodo yang serius membuat Titi takut untuk bertanya kedua kali.
“O...begitu, kasihan kakak, besok boleh ga aku ikut berjualan es sama kakak?” pinta Titi menghiba.
“Jangan, belum saatnya kamu untuk bekerja, kamu itu masih terlalu kecil, paham?’
“Tidak...” Titi menggeleng.
“Besok kalau kamu sudah besar, sebesar bagong...silahkan kamu bekerja sesuai cita-citamu,”
Belum sampai selesai berucap Titi sudah tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya dia teringat dengan acara di TVRI ‘Ria Jenaka’ yang bercerita dengan gaya humornya. Tokohnya memang piawai membuat para penonton setianya tertawa, karena ceritanya yang lucu memerankan punakawan.
“Kenapa tertawa Titi?”
“Kakak sih...menyebut Titi sebesar bagong, memangnya bisa Kak?”
“Tentu...kalau Titi tidak suka jajan dan makan nasi uang banyak”.
“He..em aku mau sebesar bagong biar bisa bekerja dan banyak uang. Nanti kakak kubelikan es nino ya, mau khan?”
Dodo mengangguk, ekspresi mengiyakan maksud Titi supaya adik bontotnya itu merasa lega.
Dodo merasa terharu, terlihat dari sinar matanya yang memandang jauh ke depan dan sedikit berkaca-kaca. Ternyata adiknya itu mampu memahami kata-katanya ditambah rasa pengertian yang teramat dalam untuk anak seusia Titi yang sama sekali belum merasakan bangku sekolah.
“”Sekarang Titi lekas berlatih calistung ya sama kak Piti?” pinta Dodo kepada adiknya. “OK kak tapi jangan lupa besok Titi dikasih es durian, o…iya Titi khan beli, gak mau minta”. Titipun beranjak pergi ke ruang tengah menuju ke tempat Piti yang sedari tadi berada di ruang itu. Sementara Dodo melanjutkan menghitung uang hasil berdagang sehari tadi.
“Lumayan uang ini sebagian akan kukumpulkan untuk tabunganku”, tiba-tiba saja terbesit wajah pak Dibyo yang tadi dingin melihatnya sebelum mengetahui bahwa penjual es nino keliling itu adalah eks-muridnya. Dan acungan jempol itu apa artinya, bagus atau hanya sekedar  membesarkan hati Dodo supaya tidak malu. Semenjak pertemuan dengan beliau jauh dalam  hatinya ada rasa malu dan beban di pundaknya yang semakin berat. Ibu Dodo yang melihat Dodo dengan keadaan seperti itu langsung peka dan bertanya,
“Ada apa Do, ibu melihatmu tidak sepeti biasanya, setoranmu kurang atau hilang?” ibunya mencoba menerka setelah melihat uang yang tersusun rapi di genggaman Dodo. “Tidak Bu”, jawab Dodo ragu.
“Ibu tahu kok, pasti ada yang difikirkan”,
Sebenarnya Dodo ingin bercerita namun ini bukan waktu yang tepat.’ “benar, Dodo tidak mau cerita, setiap masalah itu ada jalan keluar, tinggal kamu mau membiarkan masalahmu itu larut dengan dirimu sendiri atau engkau bagi dengan ibumu ini”. Ibu Dodo yang bijaksana itu kembali menata barang dagangan baju-baju yang tadi sore diambil dari tetangga untuk dijual esok hari. Begitulah kebiasaan ibu Dodo bila ada pesanan baju-baju, kalau tidak langsung dibeli dari grosir, pasti mengambil dari tetangga yang sama-sama penjual pakaian.
“O..ya Bu, ini sedikit dari Dodo, untuk membantu belanja atau apalah…” Ibu Dodo menerima, namun jauh dalam hatinya tidak ingin menggunakan uang hasil jerih payah anaknya untuk apa-apa, melainkan akan disimpannya sendiri untuk kepeluan Dodo di hari mendatang. Kecuali kalau memang terpaksa paling digunakan untuk membayar uang dagangan yang kemudian untuk dijual kembali. Kadang-kadang juga digunakan untuk membeli baju Dodo. Dodo memang pemuda yang sederhana, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya yang menginginkan baju, celana bermerek yang dibeli di toko, mall, atau supermakat. Bagi Dodo asal itu baju bisa dipakai dan pilihan ibunya yang dibeli di pasar bukan menjadi masalah.
“Anak ibu memang pinter tahu kebutuhan ibu, memangnya Dodo sudah menyisihkan?”
“Sudah Bu…separuh, tidak apa-apa khan Bu?”
“Ya ga papa to Do, itu kan uangmu sendiri, hasil bekerjamu sekalian, ibu saja bersyukur kamu ingat sama ibu”. Dan tiba-tiba terdengar teriakan Piti dari ruang tengah.
“Bukan begitu!!!” Pity memarahi Piti yang sulit memahami materi yang diajarkan. Kemudian disusul tangisan Titi. Dodo dan ibunya yang tengah asyik berbincang menjadi berjalan ke ruang tengah.
“Semestinya kau sebagai kakak perempuan tidak begitu Pity, sabar kenapa?” ucap ibu Titi.
“Memang Titi itu jenius, langsung bisa…sekolah saja belum Pit…Pit...” Dodo ikut berbicara.
“Habis Titi itu sulit...diajari ga bisa-bisa”, Piti membela diri. Tiba-tiba Tari dan Yaya muncul, pulang dari membeli alat tulis di toko depan lorong.
“Titi kalau diajari mendengarkan, jangan bengong..”, Tari menyarankan.
 “Betul Ti, jangan asyik ngomong sendiri, kemarin sama aku juga begitu”, Yaya meyakinkan.
“Sudah-sudah, kalian sama saja tidak seperti Dodo yang sabar sama adiknya, ayuk Ti, tidu sama ibu”, ibu mereka marah sambil berbicara pelan, entah apa yang dibicarakan karena suaranya yang pelan seperti orang sedang mengomel. Dodo tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara Titi mengikuti ibunya dari belakang. Air mata masih membasahi kedua pipinya. Dodo memegang kepala Titi sambil mengelusnya sebelum berlalu melintasi dirinya. Mereka adalah keluarga besar hanya Dodo yang laki-laki tentu ada juga ayahnya yang di depan sedang membenahi ban sepeda yang kempes. Mungkin karena terlalu asyik tidak mendengar percekcokan mereka. Sebelum sampai di pintu kamar, Titi berucap,
“Besok aku tidak mau belaja sama kak Piti aku mau sama kak Dodo saja”,
“Boleh, asal Titi sungguh-sungguh kakak mau mengajari Titi, belajar itu butuh proses dan kesabaran,” belum selesai mengucapkan Titi langsung menyela,
“Proses itu apa kak?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu, sesekali sambil mengusap sisa-sisa air matanya yang tadi.
“proses itu tahap atau jalannya suatu kegiatan, kalau kamu sedang belajar itu berarti proses menjadi pandai, mengerti?” lanjut Dodo menjawab pertanyaan adiknya. Titi mengangguk, kemudian melangkah masuk ke tempat tidur menyusul ibunya.
Malam pun berjalan seperti biasanya hanya suara ayah yang membenahi ban kempes di depan, setelah itu ayah masuk mencuci tangannya yang hitam karena terkena oli dan ban kotor. Malam semakin larut. Suara jangkrik di dapur ikut meramaikan suasana. Satu per satu dari mereka beranjak ke peraduannya setelah menunaikan sholat isya.
Bulan Juli sudah menghampiri. Menjelang ajaran baru Titi yang hendak memasuki sekolah menyiapkan tas, buku, diskrip, dan piranti lainnya keperluan sekolah. Upanya ibu Titi sudah membelikan semua yang akan dibutuhkan Titi. Jelang tahun ajaran baru barang dagangan ibunya cukup laris, banyak yang memesan seragam sekolah. Oleh karenanya semua barang Titi baru.
“Titi kemari nak...”, ibu Titi memanggilnya ada yang hendak dibicarakan. Titi berlari menuju ibunya.
“Ada apa Bu?”, sambil mengenakan tas baru  yang dibelikan oleh ibunya sejak tadi siang di pasar Gede. Dikenakan, dilepas, dikenakan kembali. Begitulah sikap anak kecil pada umumnya bila menjumpai benda baru, pasti terasa sangat menarik sekali.
“Titi besok kalau berangkat misalnya Titi diantar sama kak Dodo mau kan?”, sambil mengamati ekspresi Titi yang sedang menatapnya, “ayah dan ibu berangkat pagi-pagi ke pasar, ibu harus jualan nak”.
“Asyik...Titi mau Bu diantar kak Dodo, berarti kak Dodo tidak jualan Bu?”.
“Kalau itu ibu tidak tahu, mungkin saja nanti setelah mengantar Titi baru berjualan”.
“Iya Bu tidak apa-apa, Titi mau”. “Betul ya Titi, besok kalau sudah sekolah, sekolah yang rajin ya...?”
“OK ...Bu”, sambil mengacungkan jempolnya.
“Sekarang Titi mandi, waktu sudah sore, nanti kalau mandi kemalaman bisa menyebabkan encok”.
Mendengar kata encok Titi langsung menirukan ayahnya yang terkadang mengeluh encok. Ibunya tersenyum geli melihatnya sambil melangkah mengambilkan baju dan pakaian dalam Titi yang nanti akan dikenakan.

3.    Titi Masuk Sekolah
Pagi itu sangat cerah sekali, Titi sudah siap dengan hal ihwal sekolahnya. Ada rasa takut yang menyergap di benaknya, namun Dodo telah membesarkan hati Titi sedemikian rupa. Mereka pun berangkat bersama-sama. Titi diboncengkan oleh kakaknya. Sesampai di sekolah Titi minta ditunggu oleh kakaknya. Permintaan Titi dituruti olah Dodo, hari kedua, ketiga begitu seterusnya. Dodo berkorban tidak berdagang selama beberapa hari. Hingga sampai suatu masa...
“Titi kakak tidak bisa menungguimu terus, kakak harus berdagang”. Titi menggeleng.
“Tidak mau...” tangan Titi memegangi baju Dodo yang hendak meninggalkannya sendiri pagi ini. Dodo kukuh pada pendiriannya Titi pun merengek. Kesabaran Dodo sudah habis. Tas Titi di kelas diambil olehnya, dan Titi pun diajak pulang. Sekolah hari ini tiada bagi Titi.
Hari semakin siang, ayah dan ibu Titi sudah pulang dari pasar. Sementara Titi yang tadi di rumah sendirian masih dengan muka murung.
“Titi dagangan ibu hari ini laris, ini kue kura-kura kesukaanmu”. Titi tidak bergeming sedikitpun.
“Engkau kenapa Titi?”, sambil mendekati Titi, “Ada masalah apa anak ibu yang cantik ini, tadi di sekolah gimana asyik to...”. Kue kura-kura yang dibawanya diberikan ke Titi, Titi menangkap kue itu, terus dilahapnya sedemikian rupa hingga mulut Titi terisi penuh dengan kue.
“Tidak, kak Dodo tidak mau menunggui Titi, Titi disuruh pulang. Terus ditinggal di rumah sendirian. Titi tidak boleh keluar rumah”. Sambil terus terisak dan mengunyah kue di mulutnya. Kalau dilihat, lucu juga tingkah anak itu. Menangis sambil terisak-isak.
“Hmmm, Titi pasti tidak mau ditinggal, habis Titi minta ditunggui terus, ya...wajar saja kalau kak Dodo berlaku demikian. Titi kalau makan jangan sambil menangis, nanti tersedak lo”, pesan ibunya dengan tatapan khawatir.
“Nanti kalau kak Dodo pulang, ibu marahi. Titi tidak ditunggui”, sambil masih terus terisak.
“Ya..ya...yuk sekarang ibu mau sholat dulu nanti kita makan bareng ayah dan kakak ya?”.
Sambil sejenak menunggu Tari, Yaya dan Piti pulang sekolah, mereka akhirnya makan bersama-sama meski seadanya dengan sayur lodeh dan kerupuk serta tempe goreng. Hanya Dodo yang tidak ada di ruang itu, Dodo masih bergelut dengan es ninonya di luaran sana.
Malam itu gerimis, bulan juli adalah masa kemarau kalau dihitung berdasarkan kalender matahari. Dodo tiduran di kamarnya. Ada rasa tidak enak hati semenjak pertemuannya dengan pak Dibyo dulu. Sepertinya itu adalah hantaman bagi Dodo yang sewaktu-waktu mampu membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan sekolah. Dan itu benar, semangat itu bak sumbu yang disulut oleh api. Segera dirinya bangkit dari ranjangnya. Berniat mengunjungi temannya di desa sebelah. Dodo bermaksud untuk mencari informasi sekolah STAN yang sebenarnya sudah pernah diketahuinya dari guru dan juga kakak kelasnya sewaktu masih di SMK dulu. Temannya itu bernama Riyan, sudah masuk ke STAN semenjak lulus tahun kemarin, tadi sepulang dai kerja Dodo sempat bertemu dengannya di jalan. Rupanya pulang kampung. Riyan bisa dikatakan sebagai teman yang akrab. Karena sehari-hari sewaktu sekolah dulu selalu bersama. Kalau saja dulu ibu Dodo punya biaya mungkin Dodo sudah menjalani pendidikan bersama dengan Riyan.
“Bu, Dodo keluar sebentar ke tempat Riyan”. Segera diambil sepedanya lalu dikayuhnya cepat-cepat. Samar-samar terdengar suara mengiyakan dari dalam.
“Memangnya kamu mau lanjut Do, dan itu sudah kau pikir matang-matang?”, Tanya Riyan sahabatnya itu.
“Iya, mumpung ada semangat, kalau biaya nanti biar diusahakan”.
“Ibumu sudah tahu perihal kau ini?, takutnya nanti seperti tahun kemarin, kau tak diperbolehkan”. Tanya Riyan kedua kalinya. Dodo tampak menggaruk-garuk kepalanya, ada sedikit rasa bimbang, antara tekadnya yang sudah terlanjur membara dan ketakutan kalau saja ibunya tiada mengijinkan.  
“Ya nanti biar aku bicara baik-baik dengan ibuku, oiya bagaimana dengan kuliahmu? Enak kan? Bagaimana dengan teman-temannya pasti berotak encer sama sepertimu Yan...”.
“Kau ini, aku sama kau kan pinteran kamu Do, tapi benar dech hampir tak ada waktu santai Do, apalagi kalau menjelang ujian semester seperti sekarang wuihh ketatnya minta ampun, aku saja ini pulang mau minta ridho dari orang tua dan..., minta jatah bulanan juga tentunya he...he...”.
“Ah kau Yan, berarti aku mengganggu waktu belajarmu dong?”
“Sama sekali tidak Do, sebenarnya aku tadi juga mau ke tempat kamu, tapi keduluan sama kamu. Namanya juga close friend, oiya, tadi sore kita juga ketemuan, tapi aku terburu-buru ibuku minta dijemput pulang dari arisan”
Riyan turun dari tempat duduknya, masuk ke kamarnya. Sementara Dodo membaca majalah di meja depan. Beberapa lama kemudian Riyan muncul dengan selembar brosur di tangannya. Brosur itu sengaja dibawa Riyan untuk Dodo dan rekan atau adik kelasnya yang baru lulus. Melihat itu majalah yang dibacanya dikembalikan ke tempat semula. Dodo membaca brosur yang sudah ditangannya. Seketika matanya terbelalak waktu pendaftaran tinggal 2 hari lagi. Waktu yang tak lama. Beberapa  saat kemudian Dodo berpamitan untuk pulang.
Sesampai di rumah, Dodo sholat isya. Sementara adik-adiknya sedang sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Sementara Titi sedang belajar menulis huruf abjad. Titi mendekati ayah ibunya yang sedang memilih-milih baju untuk dijual besok.
“Bu, ada yang ingin Dodo bicarakan tentu juga dengan ayah pula”, dengan segenap keberanian dan tekad, Dodo membicarakan niatnya untuk sekolah di STAN.
“Ini bila ayah dan ibu mengijinkan, sebenarnya ini adalah kemauan Dodo yang sejak tahun kemarin Dodo urungkan, Dodo ingin sekolah Bu...”
Mendengar itu ayah dan ibu Dodo kaget, namun berkat ekspresi Dodo yang menyimpan kesungguhan itu membuat ayah dan ibunya merasa iba.
“Sekolah di mana Do...STAN?” Tanya ayahnya.
Ayah dan ibu Dodo berpandangan kemudian melihat Dodo yang masih dengan ekspesi menunggu jawaban keduanya.
“Do...kau anak yang pintar, kalau ini memang keinginanmu apa boleh dikata, ibu tidak bisa menghalangimu lagi” jawab ibunya.   Ibu Dodo melihat ke Dodo, ada rasa haru dan enggan melepaskan Dodo bila memang nantinya Dodo diteima di STAN. Namun melihat Dodo yang sehari-hari berjualan es nino membuat hati ibu Dodo terketuk. Ini saatnya Dodo menentukan nasibnya sendiri.  Kalau ini untuk perubahan Dodo ke arah yang lebih baik kenapa tidak.
“Benar itu Dodo, kau laki-laki, kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan adik-adikmu perempuan semua. Kau harus menjadi contoh yang baik. Ayah dan ibu merestuimu. Masalah biaya nanti biar kami yang mengusahakannya. Benar kan Bu?”.
“Terima kasih bu juga ayah yang sudah memberi ijin Dodo, dan waktu Dodo tinggal 2 hari”, mendengar itu kedua orang tua Dodo tampak resah,
“Bagaimana ini, mendadak sekali Do, tapi biarlah ini ada uang kok, uang yang kau beri ke ibu selalu ibu simpan untuk kepentinganmu, dan benar kan kau memang membutuhkannya”. Mendengar itu Dodo merasa trenyuh, apakah seorang ibu memang demikian, selalu di luar dugaan yang intinya adalah demi anaknya.
“Jadi selama ini ibu menerima uang Dodo bukan untuk dipakai tapi disimpan Bu?”, tanya Dodo.
“Benar Do, sekarang kau siapkan segala yang kau butuhkan. Besok pagi-pagi kau bisa membeli tiket bus. Ibu merestuimu, semoga langkahmu kali ini behasil”.
“Amin...”. Setelah percakapan itu Dodo segera mempersiapkan yang dibutuhkan. Besok dirinya akan menelpon paman Jito di Jakarta, paman Jito adalah tetangga ibunya di Solo dulu sewaktu belum merantau seperti saat ini. Walaupun hanya tetangga tetapi rasa pesaudaraan yang kental kerap membuat paman Jito berkunjung ke Blora, selain untuk silaturrahmi ke tempat Dodo, tentu juga untuk mengunjungi kakak paman Jito paman Suki namanya. Paman Suki tentu lebih akrab dengan keluarganya karena jarak rumah yang hanya kuang lebih 2 kilometer.  Untung saja dirinya masih menyimpan nomor paman Jito. Jadi tidak pelu ke tempat paman Suki. Satu per satu mulai dari ijazah dan copy legalisir, pas foto, pakaian, dan lain sebagainya telah Dodo siapkan. Besok sebelum membeli tiket, Dodo mau ijin beberapa hari terlebih dahulu ke bos es ninonya. Setelah itu Dodo sholat isya, makan malam dan tidur. Tiba-tiba Titi mengetuk pintu, lalu membukanya dan berdiri di samping pintu ...

“Besok aku diantar ke sekolah sama kakak?”

Dodo yang mau saja beranjak tidur menjadi kembali bangun dan  “Titi, besok kakak bisa mengantar tapi ada syaratnya”,
“Apa Kak?”
“Titi mau ditinggal alias tidak usah kakak menunggui lama-lama, mengerti?, kakak besok ada keperluan, penting...”
”Baiklah...” jawab Titi melemah, setelah itu kembali menutup pintu.
4.    Dodo Beraksi

Mentari mulai menampakkan diri, adik-adik Dodo sibuk menyiapkan diri untuk berangkat sekolah kecuali Tari yang baru saja lulus tahun ini, sementara ibu dan ayah Dodo juga bersiap ke pasar,
“Do, ibu sama ayah mau berangkat dulu ya, ini uang untuk membeli tiket, nanti ibu juga pulang agak awal, putra ibu  kan mau ke Jakarta”, Titi yang baru saja lewat tiba-tiba ikut berbicara.
“Kak Dodo, mau ke Jakarta...Titi sendirian kalau berangkat dan es nino...” kata Titi dengan penuh khawatir mengingat es nino kesukaannya.
“Titi, kakak itu mau mendaftar sekolah, kalau kakak Dodo di Jakarta, nanti Titi sama aku” ucap Tari tiba-tiba.
“Benar itu Titi”,  Piti ikut berbicara,
“Yahhh, Titi ga dapat es nino dehh”.
Setelah mereka sarapan, masing-masing anggota keluarga berlalu dengan kepentingannya masing-masing kecuali Tari, Titi dan Dodo. Selang kemudian Titi dan Dodo berangkat ke sekolah Titi karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB.
“Titi tidak usah ditunggui ya, ini kan sudah hari ke tujuh Titi sekolah, nanti kalau pulang dijemput kakak Tari atau kakak sendiri kalau tidak repot, OK! ”
Titi menganggukkan kepala, seketika Titi berlari ke ruang kelas, dari kejauhan Dodo masih belum tega meninggalkan adik bontotnya itu, namun setelah melihat Titi sudah bisa menyesuaikan diri dengan teman-temannya Dodo merasa lega. Apalagi setelah ada ibu guru yang mengawasi murid-muridnya di depan pintu kelas Titi. Bu Darni namanya. Dodo pun segera mengayuh sepedanya kembali menuju ke area grosir es nino. Setelah itu melanjutkan untuk membeli tiket di agen bus malam.
Beberapa jam kemudian. Setelah mendapat ijin dari bos, membeli tiket bus ke Jakarta hingga menjemput Titi Dodo menyiapkan dan meneliti kembali piranti yang akan digunakan untuk pendaftaran besok. Sejam kemudian pukul 11.00 WIB kedua orang tua Tua Dodo tiba dari pasar. Di keranjang bawaan ibunya terlihat banyak sekali makanan yang nanti akan dibawakan untuk Dodo juga paman Jito.
Dua jam berlalu sudah, Dodo, orang tua, dan Titi sampai di agen yang letaknya setengah kilometer dari rumah, sementara adik-adik Dodo lainnya tetap di rumah,  Berbekal seadanya dan uang simpanan Dodo sendiri ditambah uang dari ibunya sudah dirasa cukup. Lima belas menit kemudian bus tiba tak lupa Dodo pamit ke orang tua dan juga Titi. Entah kenapa Titi tidak menangis kala itu,
“Do, nanti kalau sudah sampai Jakarta kabari kami ya...?”, pesan ibunya.
“Iya Bu”. Dodo menaiki bus malam, selang beberapa menit setelah penumpang dari agen Blora terisi berangkatlah bus itu. Titi dan orang tua Dodo melambaikan tangan ke arah Dodo yang saat itu kebagian kursi  di pinggir dekat jendela, Dodo pun demikian.
Pagi-pagi sekali pukul 05.00 WIB Dodo sudah sampai di Jakarta. Tiba di terminal Pulo Gadung pukul 06.00 WIB, lalu Dodo mencari angkot jurusan ke tempat paman Jito.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzHoF2yWAA-g3-ICm24rTqJegKvbb8U6zzqjobLtJGQu7ggU47V9rrtYHJizB0RjHxJ6tjHyxpi6VUMvR-RA0a4ZpJ32sFcjflswphZiC7DdiMPtHEstW9xIEPe5zg0Rjy5jvh9nlvMvEI/s320/IMG_20180407_131738.jpg
Pagi-pagi sekali pukul 05.00 WIB Dodo sudah sampai di Jakarta.
Beberapa jam kemudian Dodo sampai di sebuah gang, karena ini pengalaman Dodo pertama kalinya, Dodo meminta bantuan tetangga di sana. Untung masih ada orang baik yang mau menunjukan rumah paman Jito. Tak lupa Dodo mengucapkan teima kasih pada orang itu karena sudah membantunya menunnjukan jalan. Paman Jito yang saat itu di rumah menyambut kedatangan Dodo begitupun anggota keluarga lainnya. Setelah bercerita panjang dan memberikan titipan makanan dari ibu Dodo, Dodo dipersilahkan untuk sarapan, kemudian mandi. Paman Jito mempunyai anak laki-laki seumuran Dodo, Ali namanya , hanya bedanya anak paman Jito itu kuliah sudah setahun kemarin di UNJ. Tentu saja ini keberuntungan bagi Dodo, karena Ali bisa membantu menunjukkan kampus  STAN, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah paman Jito.
Sesampai di kampus menaiki mobil paman Jito, Dodo yang diantar Ali, menuju ke   area pendaftaran. Tak butuh waktu lama, setelah melihat persyaratan  Dodo yang memenuhi, Dodo mendapatkan kartu ujian dari panitia. Di situ tertera bahwa 2 minggu lagi Dodo harus ke Jakarta kembali untuk mengikuti tes demi tes. Dodo dan Ali kembali ke tempat paman Jito. Hari itu juga Dodo harus kembali ke Blora karena tidak enak bila berlama-lama merepotkan paman Jito dan keluarga. Karena paman Jito seorang sopir, Dodo diantar menuju ke terminal Pulo Gadung dengan mengendarai mobil sekalian membeli tiket pulang.
Bus sudah sampai di Blora, Dodo berhenti di pos pemberhentian. Sementara waktu di jam tangan Dodo menunjukkan pukul 06.04 menit. Tak jauh pos itu dari rumah Dodo, sehingga Dodo berjalan kaki untuk sampai ke rumahnya. Ada rasa bahagia namun tak sepenuhnya karena dirinya bisa mendaftar di STAN. Sampailah Dodo di depan pintu disambut oleh Titi,
“Kakak pulang...kakak pulang, Bu, kakak pulang”, suara Titi yang keras itu membuat seisi rumah menuju ke depan. Semua terlihat bahagia menyambut kedatangan Dodo.
Setelah itu semua kembali seperti biasa, masing-masing melanjutkan aktivitasnya. Titi diantar Tari ke sekolah, setelah itu Tari bekerja sebagai juru tulis, Yaya dan Piti sekolah, dan ayah, ibu Titi pergi ke pasar. Hanya Dodo yang di rumah sendirian. Dirinya merasa letih sekali. Tak terasa dirinya tidur di kursi, dan terbangun pukul 10.15 WIB. Terdengar suara Titi dan temannya bermain di luaran sana. Dodo pun mandi. Setelah itu pergi ke kamar untuk belajar latihan soal STAN yang didapatkan dari Riyan. Waktu 2 minggu benar-benar dimanfaatkan Dodo untuk belajar, meskipun di pagi hari hingga sore Dodo tetap berjualan es nino. Untung saja usahanya tidak sia-sia, selama Dodo berjualan dagangannya selalu laris manis.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9guk1EcFamxliFSAjkgnWOU5_YsMHUCvdfZpk1izvKvKi6Y4Aiqe-R3Lohz2rFZHZNqxZyU4OgUcEf6ezos6tNW-JmtNuGiT4k13MHxHO4ydMeLIbRGB8tLaOyOIzYPpiImnXuFXDWId8/s400/IMG_20180407_131730.jpg
Untung saja usahanya tidak sia-sia, selama Dodo berjualan dagangannya selalu laris manis.
Hasil laba es dia kumpulkan untuk menambah finansial ke Jakarta 2 minggu ke depan. Hari berganti hari, hari ke-11 hingga usai ujian nanti Dodo berniat libur jualan es. Dirinya ingin benar-benar fokus belajar. Dan waktu ke Jakarta tiba yaitu hari ke-13 atau H-2. Seluruh isi rumah ikut mendoakan Dodo. Dengan harapan semoga perjalanannya kali ini berhasil. Bus yang dikendarai Dodo melesat dengan cepat. Hingga tak tampak lagi.
Sesampai di Jakarta Dodo menuju ke kos iyan sahabatnya itu. Dodo sudah mengetahui alamat itu dari Riyan sendiri. Dua hari yang lalu Riyan menelpon Dodo supaya Dodo menginap di tempatnya saja. Daripada di paman Jito letak kampus dengan kos Riyan lebih dekat. Dengan mudah Dodo menemukan kos Riyan, apalagi Riyan di teras menunggu kedatangannya. Sesampai di sana Dodo berbincang sejenak, mandi lalu sarapan. Riyan yang menyiapkan segalanya. Sungguh Riyan memang sahabat sekaligus tetangga yang baik hati. Dodo bersyukur sekali mempunyai teman seperti itu.
Bel masuk berrbunyi yang artinya saat ujian akan dimulai. Dodo berusaha menenangan hati dan pikirannya. Terdengar suara langkah sepatu petugas penunggu ujian menuju ke ruangan. Petugas mulai membagikan lembar jawaban dan soal. Sebelum penanya menembus lembar jawaban Dodo berdoa terlebih dahulu. Dodo pun melaksanakan ujian dengan penuh semangat dan hati-hati. Terlihat para peserta lain juga demikian. Mereka datang dari seluruh penjuru tanah air dengan maksud dan cita-cita yang sama. Mungkin hanya tingkat usaha yang membedakan.
Ujian sudah dijalani Dodo dengan lancar. Dodo menelpon Riyan melalui telepon umum di sekitar kampus, mengatakan kalau dirinya ingin langsung pulang. Seketika itu Dodo meninggalkan kampus menuju ke terminal Pulo Gadung, untung saja ada bus malam jurusan Blora jam lima sore. Hari itu pula Dodo meninggalkan Jakarta. Dan berharap bisa kembali ke Jakarta lagi untuk mengikuti tes berikutnya.
Sesampai di rumah Dodo mencari Titi, rupanya ada sesuatu untuk Titi, tadi sewaktu di bus malam Dodo mendapat jatah roti keju dan permen. Hanya minumnya saja yang diminum Dodo. Karena Titi suka sekali dengan roti keju, Dodo tidak memakannya. Namun tak ada seorangpun di rumah. Pintu depan terkunci, Dodo mencoba melewati pintu belakang, untung saja tidak terkunci. Rupanya Titi sudah berangkat sekolah dengan Tari. Dodo merasa letih sekali. Dirinya beranjak mandi. Kemudian menyusul ayah dan ibunya ke pasar.
“Dodo, kau sudah pulang nak?”
“Iya Bu tadi pukul 06.45 Dodo sampai rumah. Di rumah tidak ada orang tadi Dodo masuk lewat pintu belakang”.
“Bagaimana ujian kemarin Do?”
“Alhamdulillah lancar Bu, Bapak di mana?”
“Bapak membayar listrik, kau sudah makan Do?”
“Belum, masih malas Bu...”
“Do, ibu berharap kau bisa lulus nak, kamu tahu sendiri kan, swasta itu seperti ini, yah kadang laku kadang tidak. Sebisa mungkin kamu berbeda dari orang tuamu ini”.
“Iya Bu, Dodo juga ingin berubah, Doakan Dodo ya Bu?” sambil ikut menata dagangan ibunya.
Dari jauh, bapak Dodo terlihat berjalan cepat-cepat.
“Do sudah pulang? Kapan tibanya?”
“Barusan Pak, Dodo jenuh sendirian, Titi sudah berangkat. Yah...Dodo ke sini”.
“Sudah sarapan apa belum?, tu di depan ada warung kalau kamu lapar ke sanalah”.
“Tidak Pak, Dodo malas makan”.
Tiba-tiba ada calon pembeli yang menghampiri, sambil melihat-lihat barang dagangan.
“Silahkan Bu, dilihat-lihat dulu ga pa..pa, memangnya mau cari apa Bu?”
“Atasan Bu, yang bunga-bunga ada?”
Mendengar itu Dodo membantu ibunya mencari-cari atasan yang dimaksud.
“Ini Bu ada”. Dodo menyodorkan ke calon pembeli itu.
“Coba Mas tak lihatnya dulu, dibuka baju itu dari plastik, lalu ditempelkan ke badannya”. Ucap pembeli itu.
“Nah tu Bu cocok banget di badan ibu, pas juga ukurannya”, ucap ayah Dodo. Sementara ibu Dodo melangkah pergi hendak mencari pesanan pembeli di sales. Hari ini hari kamis, biasanya sales-sales banyak yang datang pada hari ini.
“Pak pergi dulu, ibu mau beli dagangan, Do nanti jangan lupa sarapan lo ya?” pesan ibunya. Dodo hanya mengangguk. Rupanya pembeli itu merasa cocok. Ayah Dodo yang memberi harga. Lumayan dapat untung hampir separuh harga. Memang dalam hal mengambil untung ayah Dodo paling lihai ketimbang ibu Dodo yang mempunyai prinsip untung sedikit yang penting lancar. Maksudnya dengan untung sedikit itu bisa menarik pelanggan.
Dodo tersenyum sendiri, melihat ayahnya bisa meraup untung hampir separuh harga baju itu.
“Yah..beginilah Do, kalau ayah mengambil untung banyak, ayah tidak mau seperti ibumu. Pembeli itu kan tidak pasti, maka sekali pembeli itu datang dan suka dengan dagangan ini, ya...ayah ambilah untung banyak. Masalah jadi pelanggan atau tidak ...”
“Dipikir belakang ya Pak”, sambung Dodo
“Tuh dia, maksud kan sama Bapak”. Sambil manggut-manggut. Keduanya pun tertawa bahagia. Kebetulan ibu Dodo tadi membeli singkong goreng, ditawarkan oleh ayahnya ke Dodo. Dodo suka sekali singkong goreng, lalu memakannya dengan lahap. Seusai melahap singkong itu Dodo pamit ke ayahnya.
“Pak, Dodo pulang dulu ya...nanti tolong bilang sama ibu”.
“Kau mau ke mana Do, nanti kalau ibumu mencarimu bagaimana?”.
“Dodo ingin tidur Pak, semalam di bus susah tidur. Entah kenapa”.
“Kalau itu maumu baiklah. Istirahatlah, tolong nanti bilang ke Titi supaya tidak main ke mana-mana, apalagi ke sungai seperti anak-anak kebanyakan”.
“Iya Pak..”, jawab Dodo.
Malam hari tiba, keluarga Titi berkumpul bersama,
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglTDXByuQ7hoDT5j0mPQSoFa-z7q6mAEHZ69Cs8_8Op2h2OWV96uhI8uyQjEp7p0VwTNRYvU4jyGLq0FcIZKGdvaTlW-KmB-tblJsmI80cTE2BLFRRqSTKiu8_y8wbFPpMz9zIc32fAVSk/s320/IMG_20180407_131710.jpg
Malam hari tiba, keluarga Titi berkumpul bersama kakak-kakaknya.
Dodo becerita kepada ayah, ibu dan adik-adiknya selama di Jakarta. Titi yang juga mendengar itu menjadi ingin sekali pergi ke Jakarta. Seisi rumah menertawai Titi, malam itu terasa bahagia sekali. Bisa berkumpul dan berbagi cerita bersama.
Keesokan harinya seperti biasa Titi minta diantar kakaknya Dodo, Dodo yang menyayangi adiknya itu menuruti saja, asalkan adiknya mau sekolah. Setelah mengantar Titi, Dodo ke area grosir es nino. Tak lupa menyapa bos dan rekannya.
“Do, gimana kabarnya hampir seminggu tidak kelihatan kau...”, ucap Tono rekannya.
“Iyaa, Ton, kemarin baru balik dari Jakarta”.
“Wahhh ke ibukota rupanya, oleh-oleh ni”, goda Tono
“Oleh-oleh apa Ton, capek...”, jawab Dodo sambil tersenyum.
“Mau ambil berapa Do”, Tanya bosnya.
“200 pak”.
“Ga nambah Do, hawanya panas lo siapa tahu laris..”
“Tidak Pak, baru permulaan, khawatir tidak habis”.
“Iyalah...kadang cuaca memang tidak bisa ditebak, sekarang cerah, eee...nanti hujan”. Dodo pun berangkat dengan semangat. Setelah menghabiskan semua dagangan, Dodo melihat jam tangan menunjukkan pukul 05.00 WIB. Sebelum ke area grosir es Dodo mampir ke mushola untuk sholat ashar. Tidak seperti biasanya, kali ini Dodo sholat kesorean, setelah menunaikan kewajiban Dodo mengembalikan gerobak es nino sekaligus setor ke bosnya.
Dua minggu kemudian Dodo mendapat kabar dari Riyan kalau Dodo lolos seleksi tes tertulis. Dodo merasa senang sekali atas berita itu, keluarga Titi pun merasa senang mendengar kabar itu. 
Akhirnya seleksi demi seleksi dilalui Dodo dengan keberhasilan. Berkat kegigihan dan kesungguhannya pula semua itu terjadi tentu juga karena doa orang-orang terdekatnya. Proses belajar yang tidak sebentar, membuat Dodo harus bersemangat. Dodo melalui itu semua dengan sungguh-sungguh. Tentu semua itu dilakukan supaya dirinya tidak terdrop out. Usahanya itu berhasil, waktu wisuda tiba. Ayah, ibu dan juga Titi hadir dalam acara itu.
“Do, selamat ya nak, kau bisa menempuhi ini semua dengan lancar”, ucap ayahnya
“Terima kasih Pak, tentu berkat usaha ayah dan ibu juga yang mau membiayai Dodo”.
“Itu kewajiban kami do, bukan begitu Bu?”
“Betul Pak, lagipula kau kan juga punya uang bulanan sendiri Do, jadi ibu merasa ringan”.
Beberapa hari di Jakarta, akhirnya mereka kembali ke Blora. Sesampai di terminal mereka menaiki nomor bus dan kursi sesuai yang tertera di tiket bus. Ada rasa haru di wajah Titi, ketika melihat ekspresi kakaknya di luar. Dodo menyodorkan nasi bungkus melalui kaca bus. Saat itu juga Titi tak bisa menahan tangis, bus pun hendak berangkat. Dodo tak memahami arti tangis adik bontotnya itu. Hanya lambaian tangan Dodo yang terlihat dari luar, Titipun semakin terisak. Ternyata Titi merasa iba dengan kakaknya. Titi merasa kasihan kakaknya sendirian di sana. Padahal Dodo enjoy menjalani itu.
Selama di perjalanan, Titi masih menangis, ibunya menghiburnya dengan sabar. Dikeluarkan nasi bungkus itu lalu Titi disuapi ibunya. Dalam kondisi agak reda Titi ditawari makan dengan lauk rendang daging kerbau yang besar-besar seratnya itu. Lucu juga rupanya, dalam seketika tangis iba itu menghilang setelah Titi melihat makanan yang belum pernah dilihat olehnya sebelumnya. Rupanya makanan itu tidak menarik bagi Titi pada awalnya. Namun karena ibu Titi yang lihai membujuk akhirnya mulut Titi terbuka ketika disuapi ibunya. Sambil sesekali terisak, makanan itu dilahapnya. Untung saja Titi tidak tersedak.
Beberapa jam kemudian Titi sepertinya sudah lupa dengan tangisnya tadi, dia terlelap tidur. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 WIB, bus sampai di Blora.
Beberapa minggu kemudian Dodo balik ke Blora, Dodo menjalani masa magang di daerahnya sendiri.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiG26r4G09cveNcZ0CtKCy8fZUJ8BRhJX5kYPUObijJJDkFVeK8bwi4anH6YFLwlVOO2f828vIoeFmEQZwObKkfAeIz5IrL3o18S6w4gRFRgsHyWIdx6or-xSojb7UibPh1JyOpLrz2H81S/s320/IMG_20180407_131719.jpg
Dodo menjalani masa magang di daerahnya sendiri.
Keadaan seperti ini membuat kondisi kembali seperti semula ketika Dodo masih berjualan es nino. Yaitu kebersamaan seperti keluarga pada umumnya.
Masa 3 bulan sudah dilewati Dodo, Dodo kembali ke Jakarta melaporkan hasil magang, sekaligus untuk menerima surat penugasan kerja. Sekembalinya dari Jakarta, Dodo mengabarkan perihal dirinya, ibunya yang pertama kali diberitahu oleh Dodo. Mendengar kabar itu ibu Dodo merasa berat sekali melepas Dodo.
“Dodo, kalau kau mengajukan ke Jawa bisa Nak...”. Tanya ibunya dengan polosnya.
“Bu, ini waktu pertama kali Dodo bekerja, surat tugas sudah ditentukan oleh pusat. Jujur, Dodo tidak bisa menolaknya Bu”.
“Begitu ya Nak, Do...nanti kalau kamu di sana jangan sekalipun lupa sama emakmu ini ya... sering-seringlah kasih kabar ke ibu”.
“Ya Bu, Dodo akan sering menelpon ibu”.
Waktu Dodo untuk berangkat ke Ambon telah tiba, ada rasa haru Dodo dengan orang tuanya terlebih ibunya yang saat itu sering sakit setelah mendapat kabar penempatan Dodo. Namun apa boleh buat itu adalah tugas negara yang harus dijalani. Titi, entah mengapa tidak begitu bersedih seperti waktu perpisahannya dengan Dodo di Jakarta dulu. Mungkin karena Titi sekarang lebih sering bergaul dengan teman-temannya sehingga tidak begitu tergantung dengan Dodo. Mereka sekeluarga melepas Dodo ke Ambon bersama-sama dengan mobil sewa yang disopiri oleh tetangga sebelah, Pak To namanya. Pak To yang sudah berpengalaman dan terbiasa pergi ke luar kota sangat lihai dalam mengemudi mobilnya. Cepat sekali kemudinya. Hingga sampailah di Bandara Juanda, Surabaya.
Dodo berpamitan ke ibu, ayah dan adik-adiknya. Juga dengan pak To. Selama di pesawat Dodo berbincang dengan hatinya sendiri ada rasa bahagia, haru yang bercampur aduk. Dodo tersenyum dengan dirinya sendiri. Bagi dia si penjual es nino sudah tiada lagi sekarang si penjual es nino itu telah menanggung tanggung jawab baru yang lebih berat. Sebagai pegawai alumni STAN yang bergaji tinggi.
5.    Dodo Menjelajah Pulau Indonesia, Titi kapan?
Setibanya di Ambon, Dodo menuju ke tempat kerjanya menggunakan taxi. Di sana dia langsung menemui atasannya. Kemudian menunjukkan surat tugasnya sebagai bukti diri. Pimpinanannya memercayainya, karena sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari kantor pusat. Dodo diberikan rumah dinas untuk dihuninya. Ini bukan pertama kali Dodo tanpa keluarga, karena semasa kuliah dulu Dodo sudah terbiasa kos. Hanya saja kali ini jarak yang membentang membuatnya terlihat terpisah begitu jauh. Untung saja ada sarana telekomunikasi yang bisa mempertemukan Dodo dengan ibu, ayah dan adik-adiknya.
Hari-hari berlalu begitu saja tanpa ada canda tawa dari ayah, ibu dan sanak saudara. Dodo sekarang bergelut dengan pekerjaannya, kalau dulu di jalanan sekarang di ruang khusus yang ber-AC.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPLRv3c4Ixor3QTJu4h99MJF7SjGNdMrwnxFmhK3BMdNjQX9jqc4qvqxcmNqgA8NsJpAIOM_M8kpxH_ojATlKhakfKGWurHSgZR2Q3Vx6Hi4-zFrRC-k_kdzgA7h-F0wqCAxHSPPrltwN6/s320/IMG_20180407_131801.jpg
Dodo sekarang bergelut dengan pekerjaannya, kalau dulu di jalanan sekarang di ruang khusus yang ber-AC.

Begitulah nasib Dodo sekarang, menjadi pegawai sekaligus menjadi perantauan yang menanggung tugas negara. Untuk pulang kampung pun mesti menunggu waktu cuti. Atau kalau ada keperluan yang betul-betul mendadak dan penting dan itu paling hanya beberapa hari saja. Setiap hari berangkat pukul 08.00 WIT pulang pukul 17.00 WIT kadang-kadang juga lebih kalau ada lemburan. Kecuali hari sabtu dan minggu Dodo bisa istirahat di rumah. Di waktu itulah Dodo bisa berlibur di sana dengan teman-temannya sekantor.
Hari ini  hari minggu pagi, kalau di Ambon pukul 07.00 WIT tentu di Bloa pukul 05.00 WIB selisih waktunya adalah 2 jam. Usai Dodo mandi tiba-tiba bel telepon berdering, rupanya ayah Dodo yang menelepon, ingin menyampaikan rasa rindu dan menceritakan kalau ibunya kangen sekali pada Dodo. Hampir setiap hari semenjak kepergiannya ke Ambon, ibunya sering berdoa dan menangis sendiri, dengan harapan semoga bisa lekas pindah ke Jawa.
“Ayah, bagaimana kabarnya? Ibu, juga adik-adik...
“Baik Do, Cuma ibumu kadang masih menangis kalau igat kamu Do...” jawab ayahnya.
“Mana ibu ...Dodo ingin bicara”
“Dodo anakku, bagaimana kabarmu nak..., kapan kau bisa balik Blora?” Suara ibu Dodo yang agak parau memecah kesunyian sementara, tampaknya ibu Dodo menangis.
“Ibu tak usah khawatir, Dodo di sini baik-baik saja. Lagipula Dodo kan sudah dewasa. Ibu harus memikirkan kesehatan ibu sendiri. Nanti kalau sakit bagaimana coba, kasihan ayah dan adik-adik to?” Dodo berbicara seakan memberi nasehat kepada ibunya.
“Entahlah Do, ya seperti ini ibumu, kecil hati, ibu sudah mencoba berbesar hati menerima kenyataan, namun sulit Do...”.
“Ya...doakan saja Bu, Dodo bisa kembali ke Jawa”.
“Iya nak ibu selalu mendoakanmu, kamu ga menanyakan Titi?” seketika ibunya memotong topik bahasan, mencoba mengingatkan Dodo pada adiknya.
“Iya, bagaimana dengan si bontot Bu, Tari, Piti dan juga Yaya? Mereka baik kan?” Tanya Dodo selanjutnya.
“Titi sudah pintar, hampir jarang di rumah main terus dengan teman-temannya, kalau Tari ikut kursus menjahit sekarang, Piti dan Yaya masih sekolah to”. Penjelasan ibu Dodo yang gamblang membuat Dodo menilai kalau ibunya sudah tidak sedih lagi seperti waktu sebelumnya Dodo pun menjadi lega dibuatnya. Entah mengapa kalau Dodo mendengar ibunya menangis Dodo menjadi ikut berpikir dirinya seketika itu pula mau balik ke Blora, namun akal pikirannya memaksanya untuk mengenali realitas yang ada saat ini bahwa itu tidak mungkin.
“Baiklah Do, ibumu ini bepesan jaga baik-baik ya dirimu, makan yang banyak biar sehat ?”. Pesan ibunya seperti mau menutup bahan pembicaraan.
“Beres Bu, di sini ikan banyak kok, sayur yang mahal...” Dodo tertawa. Mendengar Dodo tertawa, ibunya pun ikut terrtawa.
“Ibu akhiri  ya, lain waktu disambung lagi”.
“Nanti Dodo biar yang telpon, Wassalamualaikum Bu”.
“Waalaikum salam Warohmatullahi Wabaokatuh” tutup ibunya. Setelah menerima telepon, Dodo ingin menghibur diri. Dirinya ingin ke pantai. Biasanya kalau ingin menyegarkan pikiran dan mencari hiburan orang-orang pergi ke pantai untuk melihat laut dengan ombak yang bergulung-gulung juga pasir putihnya yang menawan. Ini adalah pengalaman pertama Dodo pergi ke pantai bersama rekan kerjanya Wawan namanya. Wawan berasal dari Jogjakarta. Lulus di tahun yang sama. Sesampainya di sana Dodo melihat banyak sekali orang suku Ambon yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Ikan di sana memang murah, ikan sebagai hasil laut yang utama. Hiasan dari mutiara juga kerang mutiaranya pun banyak dijumpai di sana. Dodo membeli cindera mata dari kerang mutiara berupa kaligrafi yang elok sekali. Besok kalau balik Blora akan dibawanya hiasan itu. Selama di perjalanan menuju ke hunian Dodo menyapa orang-orang yang asli suku Ambon. Mereka pun juga ramah. Mungkin karena adanya rasa sebangsa dan setanah air juga sebahasa membuat mereka seperti disatukan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah semboyan yang sudah berurat akar dan mendarah daging sedari dulu. Maka tak heran bila mereka membalas senyum Dodo kala itu.
Beberapa bulan kemudian Dodo harus ke Jayapura untuk mengikuti Diklat selama sebulan. Keluarganya diberitahu olehnya. Di sana secara kebetulan Dodo bertemu dengan kakak sepupunya. Mendengar itu ibunya merasa bertambah lega.  Meski harus balik lagi ke Ambon Dodo tetap menjalani pekerjaannya dengan senang hati karena itu adalah cita-cita nya sejak awal. Hingga beberapa tahun kemudian Dodo kemudian dijodohkan oleh ibunya dengan gadis Blora yang ternyata juga teman semasa SMP dulu. Dodo menurut dengan pilihan ibunya itu. Meskipun di sana Dodo  sebenarnya sudah menjalin kasih dengan gadis Ujung Pandang namun ibunya tidak menyetujuinya, bukan karena suku yang berbeda, namun ibu Dodo khawatir kalau anak laki-lakinya tidak balik ke Blora bila mendapat jodoh orang luar Jawa. Bagi Dodo pilihan ibu adalah yang terbaik. Maka dijalaninya itu semua.
Setelah menikah dan mempunyai satu anak, di Ambon terjadi kerusuhan. Kekacauan terjadi di mana-mana. Kondisi itu membuat ibu dan keluarga Dodo menjadi tidak tenang. Hingga akhirnya Dodo didesak ibunya untuk mengajukan pindah supaya bisa ditugaskan di Jawa, awalnya sulit, namun karena kondisi dan juga berkat doa dari orang-orang terdekatnya. Akhirnya Dodo bisa pindah ke Blora. Setelah itu ke Riau dan sekarang di Jakarta ibukota Negara.
Titi yang sudah besar dan dewasa tidak lagi manja seperti dulu. Menurut Titi, sudah saatnya bagi dirinya untuk mencontoh perilaku kakaknya itu tanpa melepaskan pibadinya sendiri. Dodo adalah seorang kakak yang gigih dan bisa menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Melalui perjuangan yang tak kenal lelah akhirnya bisa mencapai posisi puncak kesuksesannya. Membuat Titi dan juga keluarganya turut bangga. Piti yang sudah bisa menyusul kakaknya itu dengan cara dan kesuksesannya sendiri. Hingga kemudian ayah dan ibu mereka tiada, mereka masih menjadi keluarga yang saling menyayangi.
Hingga di suatu hari, bersama dengan angannya yang melambung Titi berucap,
“Kalau  kak Dodo sudah meraih mimpi dan menjelajahi pulau-pulau di Indonesia, Titi kapan? “.
Terasa dunia ini membisu dengan pertanyaan Titi. Tak ada suara tanggapan apalagi jawaban. Hanya suara angin yang berbisik, menembus celah-celah genting, dan masuk dengan leluasa melalui jendela kamarnya. Sesaat dirinya terkenang  dengan ayah dan ibunya. Mendiang ayah dan ibunya pun tiada mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan Titi. Namun ibunya sempat tahu cita-cita Titi kala itu.
Tiba-tiba saja ada yang berbicara,
“Titi tiada yang tahu nasibmu ke depan, tak ada yang bisa menentukan nasibmu itu, langkahmu ditentukan oleh dirimu sendiri, perjuanganmu sendiri dan nasibmu itu juga ada di tanganmu sendiri”. Terdengar sayup-sayup suara itu. Hingga membuat Titi tersadar dari angannya itu bahwa itu adalah suara dari bilik hati kecilnya sendiri . Titi sudah berambisi ingin seperti kakaknya itu.
Titi yang sudah dewasa pun mulai menyadari bahwa dirinya hanya mampu menjalani, menikmati dan mensyukuri yang ada. Mungkin benar bersyukur adalah jalan terbaik untuk menuju ke yang lebih baik. Sambil terus dan terus berusaha serta tiada lupa berdoa pada Sang Pencipta.
 By: Wiji Sayekti (pernah ikut dalam lomba Bahan Bacaan Fiksi Kemdikbud 2018)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar