Jumat, 11 Mei 2018

TEMA: PERAYAAN DARI MASA DEPAN

YANG AKAN TERJADI KEMUDIAN
Seperti biasa Saskia menekan tuts-tuts pada keyboard laptopnya yang lumayan jadul, tak mengapa selama masih bisa diajak kompromi menyelesaikan pekerjaan hariannya baginya sudah cukup.  Ada sebuah harapan yang menjadi point penting untuk kali ini. Tahun sudah berganti semestinya kehidupannya juga ikut berganti. Seperti proses alami ada siang yang berganti malam begitupun sebaliknya lalu mendung berganti cerah musim kemarau berganti musim penghujan. Begitulah kiranya semestinya kehidupannya juga ingin adanya perubahan. Sebuah harapan yang mengisi perjalanan kehidupannya yang sampai entah  kapan garis finishnya tiada yang tahu. Biarlah diapun tiada menahu dan tak ingin tahu, Tuhan pasti tak memberi tahu karena itu adalah sebuah rahasia, rahasia-Nya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka, “Saskia sudah larut, istirahatlah besok khan bisa dilanjutkan Nak” ibunya memanggil dengan lembut diusapnya kepala Saskia, sepertinya ada ketidaktegaan yang mendalam bila Saskia harus sekolah sambil bekerja sampai larut-larut. Maklumlah naluri seorang ibu single parent yang teramat menyayangi anaknya itu. Kalaupun tiada untuk masa depan anaknya pastilah Saskia dilarang susah-susah bekerja sambilan, gaji ibunya pasti sudah cukup untuk biaya sehari-hari ditambah lagi kakaknya Abra yang memasuki kuliah semester ketujuh. “Apa yang kau ketik itu Sas??” dengan seksama ibunya melihat dan membaca apa yang ditulis oleh Saskia dalam ceritanya. “Rupanya anak ibu pandai juga berkarya”. “Doakan ya Bu semoga karya Saskia kali ini bisa diangkat, jadi film” suara Saskia optimis,”kemarin ada yang menawari membuat cerita, ayahnya teman Saskia yang bekerja di dunia perfilman melihat karya Saskia di mading kemarin sewaktu ada rapat ortu itu lo Bu?” Saskia menerangkan sambil mengingatkan kejadian kemarin bersama Pak Broto ayah Kamila. Dalam diam ibunda Saskia termangu, entah apa yang dipikirkan, mungkin itu adalah sebuah doa tulus untuk Sang anak kesayangan agar Tuhan berkehendak untuk mengabulkannya atau mengingat kejadian kemarin atau justu kedua-duanya atau bisa saja yang lain, entah jalan pikir yang mana yang saat ini beradu dalam  buah pikirnya. Lantas ibunda Saskia berucap, “Ya semoga saja apa yang menjadi harapan anak ibu bisa menjadi kenyataan, Amin”, sambil mengusap kepala Saskia dengan pelan. Seperti ibundanya yang selalu gigih dalam mengejar asa, rupanya Saskia pun demikian, sehingga sukarlah bila Saskia dihenti bila dirinya sudah terlanjur bersemangat dalam aktivitasnya. Usai Saskia mengiyakan nasehat ibunya untuk tiada larut, nyatalah kembali dirinya mengulang hal serupa setelah ibunya pergi meninggalkan bilik kamarnya.
Seperti lagu-lagu yang merdu didengar seperti bintang yang kemerlip di malam hari seperti sinar matahari yang cerah memancarkan sinarnya, begitulah keadaan Saskia saat ini menggoreskan kisah fiksinya sebagus mungkin dalam monitor laptop jadulnya., Kalau hati sudah bertekad sekalipun mata yang pada umumnya jam segini semestinnya hanya 5 watt alias kantuk berat tiada dirasa olehnya. Jari-jarinya yang cukup lincah bergeak di atas tuts ditambah imajinasinya yang lancar seperti artesis membuat setiap halaman menjadi cepat penuh, hingga tak terasa berpindah ke halaman demi halaman berikutnya. “Gobraakkk…” suara keras itu tiba-tiba mengagetkannya hingga badan Saskia merasakan letih seketika, dadanya sakit, matanya berkunang-kunang, sepertinya pandangannya mulai kabur, sekarang dirinya tiada sadarkan diri.
Jiwanya kini mengembara entah kemana, seakan dirinya berada di halaman yang luas dipenuhi rerumputan hijau terawatt, ada sebuah gedung yang megah tegak menjulang di atas langit. Melihat di sana banyak sekali orang-orang dengan kesibukannya sendiri. Ada pula piranti-piranti shooting seakan melengkapi diantara sekian manusia di sana. Dirinya merasa asing sepertinya ada yang aneh dan tiada pernah dialami sebelumnya. Dirinya mendekati kerumunan itu, semakin dekat setiap orang yang melihatnya tersenyum bukan senyum sinis atau senyum kecut melainkan senyum kekaguman. Melihat aksinya dan parasnya yang cantik menawan hati setiap mata yang melihatnya. Mereka itu begitu takjub kepadanya, pesona yang dipancarkan seperti mengandung aura bintang. Entah apa yang dirasakannya saat ini terasa di luar nalar dan begitu istimewa. Semua orang menatapnya dengan terpesona. Tiba-tiba saja orang mulai mendekatinya menyodorkan kertas dan pena hanya sekedar meminta tanda tangannya. Saskia heran dengan semua ini apakah ini nyata, dirinya merasa bak artis ehmmm seperti artis yang terkenal. Wow keren bingiit. Diapun menuruti permintaan penggemarnya untuk menggoreskan tinta emas yang tiada tahu kapan datangnya dalam sekejap mata sudah ada di tangannya. Sesekali senyum manisnya ia sungging untuk para fansnya.
Di tengah kerumunan seorang lelaki bertopi hitam berperawakan tinggi besar lengkap dengan kaca mata dan topi menghampiri dirinya, menyuruhnya untuk lekas kembali shooting, “Saskia, siapkan dirimu sesegera mungkin, sekarang giliranmu untuk tampil”, dengan langkah bimbang dan sedikit tak pecaya diri dia ikuti lelaki itu, namamya Pak Tedjo seorang sutradara dalam film yang sedang digarapnya kini. Memang benar piranti yang dilihatnya tadi adalah sarana untuk shooting konstruksi artistik ditata sedemikian rupa, dan dirinya terlibat peran terbukti dengan seorang perempuan merias dirinya begitu cepat, Sang sutradara pun memberi pengarahan sekilas, dirinya begitu mudah tanggap seperti Si jenius yang menjadi tokoh dalam sandiwara atau layar kaca. Saskia menjadi tokoh utama. Tak menyangka Saskia bisa beraksi dengan penuh percaya diri. Peran yang dia mainkan adalah menjadi seorang wanita karier yang terlibat asmara dengan Sang bos. Sang bos yang muda, single, nan rupawan namun sayangnya temperamental takjub dengan sepak terjangnya nan hebat.

“Saskia, selamat…kau sudah membantuku dalam melobi ekan bisnis kita sehingga meeka mau begabung di perusahaan kita dalam menanamkan modalnya” ucap Sang bos yang jaang sekali membei pujian, mungkin karena dirinya merasa bahwa Saskia sangat pintar dan mampu meyakinkan rekannya. Sakia menyambut uluran tangan pak bos yang biasa disebut dengan nama Pak Baskoro. “Tapi Pak, sebenanya tadi ada yang belum tersampaikan dalam meeting, dan saya baru ingat sekarang”. “Apa…kenapa bisa Saskia, bagaimana nantinya, pasti bisa memberikan imbas yang merugikan pihak peusahaan kita” Pak Baskoo dengan nada marahnya kepada Saskia tanpa segan. “Cut…” Pak Tedjo memutus tiba-tiba, ada adegan yang kurang pas dengan story board yang sudah disampaikan sebelumnya. “Baskoro semestinya jangan langsung marah-marah, tampakkan gesture kaget yang teramat”’ begitu Sang sutradara mengarahkan, “dan kau Saskia, semestinya ada rasa besalah yang menghantui sehingga ketika kau mengucapkan perihal sebenanya ke Pak Bosmu itu,” sambil menunjuk ke Baskoro “kau ucapkan nada dengan terbata-bata, begitu, paham?” “Oke” Saskia meyakinkan. Kembali mereka ke posisi, tombol rekam mulai di on kan kembali. “Action..” begitu terdengar suara itu mulailah Saskia dengan Pak Baskoro berakting. Shooting kali kedua berhasil konflik dan penyelesaian bisa dijalani dengan lancar sesion demi session. Rupanya di film itu menceritakan tentang Saskia yang bekerja di perusahaan kaliber dunia, selain cerdas ada kelemahan yang sudah sejak kecil diidap oleh Saskia yaitu mudah lupa. Hingga bosnya memaki habis-habisan di depan matanya sendiri. Namun karena Saskia banyak akal mampu menyelesaikan masalah itu. Keadaan berbalik dari makian itu justru membuat pak Bos menyukai Saskia, seiring berjalannya waktu setelah semakin mengenali Saskia kisah asmara mereka berakhir di pelaminan. “Bagus, acting kalian berhasil”, Pak Tedjo memberi tepukan tangan. Semua kru yang terlibat merayakan dengan gembira karena film dengan cepatnya berhasil dibuat tanpa melalui editing. 

Serasa ada yang menggerakkan badannya semakin lama semakinn kencang, suara yang sebelumnya penah akrab didengar semakin menggema di telinganya. Matanya terbuka sedikit demi sedikit, tampak samar-samar wajah yang tak asing, semakin jelaslah wajah yang begitu lembut dengan senyum yang selalu merekah sepanjang masa siapa lagi kalau bukan sang ibu. Beranjaklah cepat-cepat Saskia dari tidurnya semalam. “Ibu apa yang terjadi pada Saskia?” tanyanya dengan ekspresi bingung. “Kamu tadi senyum-senyum sendiri sambil memanggil nama Pak Baskoro berulangkali, memangnya siapa itu Sas? “Tanya ibu Saskia dengan penuh rasa ingin tahu. “Oh itu…Pak Bos Bu?” tanpa sadar Saskia langsung menjawab.”Apa???” ibunya tercengang-cengang mendengar jawaban Saskia barusan. “E..ee maksudku teman Bu, salah ucap he…” ralat Saskia sambil memukul mulutnya dengan jari-jari tangan kanannya. “Lihat Sas sudah pukul berapa, cepatlah mandi memangnya engkau tidak berangkat sekolah?” Seketika ibunya pegi meninggalkan ruangan itu, sada sepenuhnya yang tejadi pada putrinya adalah sebuah mimpi. Rupa-rupanya Saskia yang tadi merasa bak di alam nyata  ternyata hanyalah mimpi belaka, mimpi yang menjadi bunga tidurnya semalam setelah mendengar suara kucingnya Moni menjatuhkan salon di kamarnya hingga dirinya kaget dan tak sadarkan diri perlahan-lahan. Untungnya dirinya sempat merebahkan badannya di kasur sehingga tidak tidur di lantai karena pingsan. Kantuk dan terpengaruh oleh imajinasinya yang semalam ditulisnya terimplementasi menjadi sebuah mimpi. Dipegangnya laptop yang semalam digunakan, setelah melihatnya seksama memang benar hanya tinggal kurang lebih sepertiga cerita lagi. Beruntung mendapat mimpi seperti tadi malam jadi tidak usah sulit-sulit mencari ide lagi, lagi pula cerita dari mimpi semalam yang dialaminya juga masuk akal dan sinkon.
Hendak beangkat ke sekolah diambilnya laptop lalu dimasukkan kedalam tas sekolahya behaap kalau ada jam kosong atau jam istiahat bisa menyelesaikan tulisannya. Semakin cepat semakin baik. Supaya Pak Boto bisa segea membacanya, entahlah semoga kali ini Pak Noto tidak kecewa, lagi pula cerita itu khan cocok bila diteapkan di ilm atau dama seial di laya kaca. Selesai juga akhirnya di waktu istiahat kedua. “Optimis say, moga kali ini berhasil” Saskia menyemangati dirinya sendiri. Tanpa memberitahu Kamila anak Pak Broto yang juga kawannya itu Saskia langsung mengirim ke E-mail Pak Broto. Lama dirinya menunggu balasan, bahkan ketika ibu gurunya menerangkan pelajaran di kelas tak begitu diindahkan olehnya. Sesekali melihat ke papan tulis membaca sekilas yang ditulis oleh Sang ibu guru manis, namun sesekali pula pikirannya tertuju pada naskah yang sudah dikirimnya itu.
Bel pulang sekolah bebunyi. HP yang tadi off dan disimpan di tasnya dia hidupka kembali. E-mail balasan dalam hatinya, teyata masih saja nihil.Dalam pejalaan pulag menaiki bus kota Saskia mencoba menenangkan diinya supaya bisa besaba. Behentilah bus itu di depan umah Saskia, tampak di luar Sang ibu yang sudah sedari tadi menunggu, makanan pun sudah disiapkan untuk putrinya, wajarlah bila seorang ibu bersikap demikian karena saat seperti ini hanya anak perempuannya itu yang menemani karena Abra, anak lelakinya ke luar kota menuntut ilmu. Seminggu sekali pulang menjenguk Sang ibu dan adiknya, ditambah lagi meminta uang saku untuk hidup sehari-hari di sana bila uang sakunya habis. “Saskia tadi Pak Broto ke sini bersama anaknya siapa?? Kamila ya, “Betul, trus gimana Bu?” Saskia bertaya dengan antusiasnya. “Tadi egkau mau dihubungi tapi handphonemu tidak aktif, Kamila pun mencarimu tiada ketemu, hingga Pak Broto ke sini, baru saja pulang lo Sas?“ “Kenapa ibu tidak hentikan meeka?” Saskia menyela, “Sudah Sas, tapi beliau tidak mau katanya ada urusan sangat penting, mengenai honor nanti akan dikirim segera ke rekeningmu, katanya tulisanmu bagus, o…iya ibu juga sudah kasihkan nomor rekeningmu ke Pak Broto” “Memangnya ditanya sama Pak Broto Bu?” “Ya…iyalah Sas masa ibu tiba-tiba mengasihkan nomor rekening lagi pula ibu khan juga ga begitu paham”. “Makasih bundaku yang cantik, imut pokoknya sip dech, ini berkat doa ibu juga pastinya” canda Saskia sambil mencubit pipi ibunya yang tembem. “Kamu itu kalau ada maunya saja seperti ini, ayo makan dulu”. Keduanya berjalan menuju ke ruang makan, sambil berbincang-bincang tentang masa yang akan datang. Adalah sebuah pilihan yang mesti diperhitungkan sedari sekarang, tanpa unsur paksaan dari Sang ibu, Saskia memutuskan jalan hidupnya ingin menjadi seorang jurnalis. Melanjutkan hidup adalah pilihan keluarganya. Meskipun tiada sosok ayahanda di sampingnya lagi karena sudah lama menutup mata. Kini yang dialaminya bukan mimpi lagi namun sudah bisa dia saksikan di layar kaca, walaupun dirinya bukan bintang dalam peran film itu. Kebahagiaan yang tiada pernah diduga sebelumnya. Begitulah bila Sang Kholik menghendaki pasti bisa tejadi.

Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba cerpen Shira Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar