YANG AKAN TERJADI KEMUDIAN
Seperti
biasa Saskia menekan tuts-tuts pada keyboard laptopnya yang lumayan jadul, tak
mengapa selama masih bisa diajak kompromi menyelesaikan pekerjaan hariannya
baginya sudah cukup. Ada sebuah harapan
yang menjadi point penting untuk kali ini. Tahun sudah berganti semestinya
kehidupannya juga ikut berganti. Seperti proses alami ada siang yang berganti
malam begitupun sebaliknya lalu mendung berganti cerah musim kemarau berganti
musim penghujan. Begitulah kiranya semestinya kehidupannya juga ingin adanya
perubahan. Sebuah harapan yang mengisi perjalanan kehidupannya yang sampai
entah kapan garis finishnya tiada yang
tahu. Biarlah diapun tiada menahu dan tak ingin tahu, Tuhan pasti tak memberi
tahu karena itu adalah sebuah rahasia, rahasia-Nya.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu dibuka, “Saskia sudah larut, istirahatlah besok khan bisa
dilanjutkan Nak” ibunya memanggil dengan lembut diusapnya kepala Saskia,
sepertinya ada ketidaktegaan yang mendalam bila Saskia harus sekolah sambil
bekerja sampai larut-larut. Maklumlah naluri seorang ibu single parent yang
teramat menyayangi anaknya itu. Kalaupun tiada untuk masa depan anaknya pastilah
Saskia dilarang susah-susah bekerja sambilan, gaji ibunya pasti sudah cukup
untuk biaya sehari-hari ditambah lagi kakaknya Abra yang memasuki kuliah
semester ketujuh. “Apa yang kau ketik itu Sas??” dengan seksama ibunya melihat
dan membaca apa yang ditulis oleh Saskia dalam ceritanya. “Rupanya anak ibu
pandai juga berkarya”. “Doakan ya Bu semoga karya Saskia kali ini bisa diangkat,
jadi film” suara Saskia optimis,”kemarin ada yang menawari membuat cerita, ayahnya
teman Saskia yang bekerja di dunia perfilman melihat karya Saskia di mading
kemarin sewaktu ada rapat ortu itu lo Bu?” Saskia menerangkan sambil
mengingatkan kejadian kemarin bersama Pak Broto ayah Kamila. Dalam diam ibunda
Saskia termangu, entah apa yang dipikirkan, mungkin itu adalah sebuah doa tulus
untuk Sang anak kesayangan agar Tuhan berkehendak untuk mengabulkannya atau
mengingat kejadian kemarin atau justu kedua-duanya atau bisa saja yang lain,
entah jalan pikir yang mana yang saat ini beradu dalam buah pikirnya. Lantas ibunda Saskia berucap,
“Ya semoga saja apa yang menjadi harapan anak ibu bisa menjadi kenyataan,
Amin”, sambil mengusap kepala Saskia dengan pelan. Seperti ibundanya yang
selalu gigih dalam mengejar asa, rupanya Saskia pun demikian, sehingga sukarlah
bila Saskia dihenti bila dirinya sudah terlanjur bersemangat dalam aktivitasnya.
Usai Saskia mengiyakan nasehat ibunya untuk tiada larut, nyatalah kembali
dirinya mengulang hal serupa setelah ibunya pergi meninggalkan bilik kamarnya.
Seperti
lagu-lagu yang merdu didengar seperti bintang yang kemerlip di malam hari
seperti sinar matahari yang cerah memancarkan sinarnya, begitulah keadaan
Saskia saat ini menggoreskan kisah fiksinya sebagus mungkin dalam monitor
laptop jadulnya., Kalau hati sudah bertekad sekalipun mata yang pada umumnya
jam segini semestinnya hanya 5 watt alias kantuk berat tiada dirasa olehnya. Jari-jarinya
yang cukup lincah bergeak di atas tuts ditambah imajinasinya yang lancar
seperti artesis membuat setiap halaman menjadi cepat penuh, hingga tak terasa
berpindah ke halaman demi halaman berikutnya. “Gobraakkk…” suara keras itu
tiba-tiba mengagetkannya hingga badan Saskia merasakan letih seketika, dadanya
sakit, matanya berkunang-kunang, sepertinya pandangannya mulai kabur, sekarang
dirinya tiada sadarkan diri.
Jiwanya
kini mengembara entah kemana, seakan dirinya berada di halaman yang luas
dipenuhi rerumputan hijau terawatt, ada sebuah gedung yang megah tegak
menjulang di atas langit. Melihat di sana banyak sekali orang-orang dengan
kesibukannya sendiri. Ada pula piranti-piranti shooting seakan melengkapi
diantara sekian manusia di sana. Dirinya merasa asing sepertinya ada yang aneh
dan tiada pernah dialami sebelumnya. Dirinya mendekati kerumunan itu, semakin
dekat setiap orang yang melihatnya tersenyum bukan senyum sinis atau senyum
kecut melainkan senyum kekaguman. Melihat aksinya dan parasnya yang cantik
menawan hati setiap mata yang melihatnya. Mereka itu begitu takjub kepadanya,
pesona yang dipancarkan seperti mengandung aura bintang. Entah apa yang
dirasakannya saat ini terasa di luar nalar dan begitu istimewa. Semua orang
menatapnya dengan terpesona. Tiba-tiba saja orang mulai mendekatinya menyodorkan
kertas dan pena hanya sekedar meminta tanda tangannya. Saskia heran dengan
semua ini apakah ini nyata, dirinya merasa bak artis ehmmm seperti artis yang
terkenal. Wow keren bingiit. Diapun menuruti permintaan penggemarnya untuk
menggoreskan tinta emas yang tiada tahu kapan datangnya dalam sekejap mata
sudah ada di tangannya. Sesekali senyum manisnya ia sungging untuk para
fansnya.
Di
tengah kerumunan seorang lelaki bertopi hitam berperawakan tinggi besar lengkap
dengan kaca mata dan topi menghampiri dirinya, menyuruhnya untuk lekas kembali
shooting, “Saskia, siapkan dirimu sesegera mungkin, sekarang giliranmu untuk
tampil”, dengan langkah bimbang dan sedikit tak pecaya diri dia ikuti lelaki
itu, namamya Pak Tedjo seorang sutradara dalam film yang sedang digarapnya
kini. Memang benar piranti yang dilihatnya tadi adalah sarana untuk shooting
konstruksi artistik ditata sedemikian rupa, dan dirinya terlibat peran terbukti
dengan seorang perempuan merias dirinya begitu cepat, Sang sutradara pun
memberi pengarahan sekilas, dirinya begitu mudah tanggap seperti Si jenius yang
menjadi tokoh dalam sandiwara atau layar kaca. Saskia menjadi tokoh utama. Tak
menyangka Saskia bisa beraksi dengan penuh percaya diri. Peran yang dia mainkan
adalah menjadi seorang wanita karier yang terlibat asmara dengan Sang bos. Sang
bos yang muda, single, nan rupawan namun sayangnya temperamental takjub dengan
sepak terjangnya nan hebat.
“Saskia,
selamat…kau sudah membantuku dalam melobi ekan bisnis kita sehingga meeka mau
begabung di perusahaan kita dalam menanamkan modalnya” ucap Sang bos yang jaang
sekali membei pujian, mungkin karena dirinya merasa bahwa Saskia sangat pintar
dan mampu meyakinkan rekannya. Sakia menyambut uluran tangan pak bos yang biasa
disebut dengan nama Pak Baskoro. “Tapi Pak, sebenanya tadi ada yang belum tersampaikan
dalam meeting, dan saya baru ingat sekarang”. “Apa…kenapa bisa Saskia,
bagaimana nantinya, pasti bisa memberikan imbas yang merugikan pihak peusahaan
kita” Pak Baskoo dengan nada marahnya kepada Saskia tanpa segan. “Cut…” Pak
Tedjo memutus tiba-tiba, ada adegan yang kurang pas dengan story board yang
sudah disampaikan sebelumnya. “Baskoro semestinya jangan langsung marah-marah,
tampakkan gesture kaget yang teramat”’ begitu Sang sutradara mengarahkan, “dan
kau Saskia, semestinya ada rasa besalah yang menghantui sehingga ketika kau
mengucapkan perihal sebenanya ke Pak Bosmu itu,” sambil menunjuk ke Baskoro
“kau ucapkan nada dengan terbata-bata, begitu, paham?” “Oke” Saskia meyakinkan.
Kembali mereka ke posisi, tombol rekam mulai di on kan kembali. “Action..”
begitu terdengar suara itu mulailah Saskia dengan Pak Baskoro berakting.
Shooting kali kedua berhasil konflik dan penyelesaian bisa dijalani dengan
lancar sesion demi session. Rupanya di film itu menceritakan tentang Saskia
yang bekerja di perusahaan kaliber dunia, selain cerdas ada kelemahan yang
sudah sejak kecil diidap oleh Saskia yaitu mudah lupa. Hingga bosnya memaki
habis-habisan di depan matanya sendiri. Namun karena Saskia banyak akal mampu
menyelesaikan masalah itu. Keadaan berbalik dari makian itu justru membuat pak
Bos menyukai Saskia, seiring berjalannya waktu setelah semakin mengenali Saskia
kisah asmara mereka berakhir di pelaminan. “Bagus, acting kalian berhasil”, Pak
Tedjo memberi tepukan tangan. Semua kru yang terlibat merayakan dengan gembira
karena film dengan cepatnya berhasil dibuat tanpa melalui editing.
Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba cerpen Shira Media.
Serasa
ada yang menggerakkan badannya semakin lama semakinn kencang, suara yang
sebelumnya penah akrab didengar semakin menggema di telinganya. Matanya terbuka
sedikit demi sedikit, tampak samar-samar wajah yang tak asing, semakin jelaslah
wajah yang begitu lembut dengan senyum yang selalu merekah sepanjang masa siapa
lagi kalau bukan sang ibu. Beranjaklah cepat-cepat Saskia dari tidurnya
semalam. “Ibu apa yang terjadi pada Saskia?” tanyanya dengan ekspresi bingung. “Kamu
tadi senyum-senyum sendiri sambil memanggil nama Pak Baskoro berulangkali,
memangnya siapa itu Sas? “Tanya ibu Saskia dengan penuh rasa ingin tahu. “Oh
itu…Pak Bos Bu?” tanpa sadar Saskia langsung menjawab.”Apa???” ibunya
tercengang-cengang mendengar jawaban Saskia barusan. “E..ee maksudku teman Bu,
salah ucap he…” ralat Saskia sambil memukul mulutnya dengan jari-jari tangan
kanannya. “Lihat Sas sudah pukul berapa, cepatlah mandi memangnya engkau tidak
berangkat sekolah?” Seketika ibunya pegi meninggalkan ruangan itu, sada
sepenuhnya yang tejadi pada putrinya adalah sebuah mimpi. Rupa-rupanya Saskia
yang tadi merasa bak di alam nyata ternyata hanyalah mimpi belaka, mimpi yang
menjadi bunga tidurnya semalam setelah mendengar suara kucingnya Moni menjatuhkan
salon di kamarnya hingga dirinya kaget dan tak sadarkan diri perlahan-lahan.
Untungnya dirinya sempat merebahkan badannya di kasur sehingga tidak tidur di
lantai karena pingsan. Kantuk dan terpengaruh oleh imajinasinya yang semalam
ditulisnya terimplementasi menjadi sebuah mimpi. Dipegangnya laptop yang
semalam digunakan, setelah melihatnya seksama memang benar hanya tinggal kurang
lebih sepertiga cerita lagi. Beruntung mendapat mimpi seperti tadi malam jadi
tidak usah sulit-sulit mencari ide lagi, lagi pula cerita dari mimpi semalam
yang dialaminya juga masuk akal dan sinkon.
Hendak
beangkat ke sekolah diambilnya laptop lalu dimasukkan kedalam tas sekolahya
behaap kalau ada jam kosong atau jam istiahat bisa menyelesaikan tulisannya.
Semakin cepat semakin baik. Supaya Pak Boto bisa segea membacanya, entahlah
semoga kali ini Pak Noto tidak kecewa, lagi pula cerita itu khan cocok bila
diteapkan di ilm atau dama seial di laya kaca. Selesai juga akhirnya di waktu
istiahat kedua. “Optimis say, moga kali ini berhasil” Saskia menyemangati
dirinya sendiri. Tanpa memberitahu Kamila anak Pak Broto yang juga kawannya itu
Saskia langsung mengirim ke E-mail Pak Broto. Lama dirinya menunggu balasan,
bahkan ketika ibu gurunya menerangkan pelajaran di kelas tak begitu diindahkan
olehnya. Sesekali melihat ke papan tulis membaca sekilas yang ditulis oleh Sang
ibu guru manis, namun sesekali pula pikirannya tertuju pada naskah yang sudah
dikirimnya itu.
Bel
pulang sekolah bebunyi. HP yang tadi off dan disimpan di tasnya dia hidupka
kembali. E-mail balasan dalam hatinya, teyata masih saja nihil.Dalam pejalaan
pulag menaiki bus kota Saskia mencoba menenangkan diinya supaya bisa besaba. Behentilah
bus itu di depan umah Saskia, tampak di luar Sang ibu yang sudah sedari tadi
menunggu, makanan pun sudah disiapkan untuk putrinya, wajarlah bila seorang ibu
bersikap demikian karena saat seperti ini hanya anak perempuannya itu yang
menemani karena Abra, anak lelakinya ke luar kota menuntut ilmu. Seminggu
sekali pulang menjenguk Sang ibu dan adiknya, ditambah lagi meminta uang saku
untuk hidup sehari-hari di sana bila uang sakunya habis. “Saskia tadi Pak Broto
ke sini bersama anaknya siapa?? Kamila ya, “Betul, trus gimana Bu?” Saskia
bertaya dengan antusiasnya. “Tadi egkau mau dihubungi tapi handphonemu tidak
aktif, Kamila pun mencarimu tiada ketemu, hingga Pak Broto ke sini, baru saja
pulang lo Sas?“ “Kenapa ibu tidak hentikan meeka?” Saskia menyela, “Sudah Sas,
tapi beliau tidak mau katanya ada urusan sangat penting, mengenai honor nanti
akan dikirim segera ke rekeningmu, katanya tulisanmu bagus, o…iya ibu juga
sudah kasihkan nomor rekeningmu ke Pak Broto” “Memangnya ditanya sama Pak Broto
Bu?” “Ya…iyalah Sas masa ibu tiba-tiba mengasihkan nomor rekening lagi pula ibu
khan juga ga begitu paham”. “Makasih bundaku yang cantik, imut pokoknya sip
dech, ini berkat doa ibu juga pastinya” canda Saskia sambil mencubit pipi
ibunya yang tembem. “Kamu itu kalau ada maunya saja seperti ini, ayo makan
dulu”. Keduanya berjalan menuju ke ruang makan, sambil berbincang-bincang
tentang masa yang akan datang. Adalah sebuah pilihan yang mesti diperhitungkan
sedari sekarang, tanpa unsur paksaan dari Sang ibu, Saskia memutuskan jalan
hidupnya ingin menjadi seorang jurnalis. Melanjutkan hidup adalah pilihan keluarganya.
Meskipun tiada sosok ayahanda di sampingnya lagi karena sudah lama menutup
mata. Kini yang dialaminya bukan mimpi lagi namun sudah bisa dia saksikan di
layar kaca, walaupun dirinya bukan bintang dalam peran film itu. Kebahagiaan
yang tiada pernah diduga sebelumnya. Begitulah bila Sang Kholik menghendaki
pasti bisa tejadi.
Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba cerpen Shira Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar